Seputar al-Qur’an

Standard

APA ITU AL-QUR’AN??

(SEBUAH PENGANTAR DAN PENJELASAN SINGKAT)

 

A. Pengertian Bahasa & Definitif

Pada kesempatan ini, akan dipaparkan tentang pengertian Kitab Suci umat Islam, yaitu al-Qur’an. Pemaparan diawali dengan memaparkan pendapat para ulama tentang al-Qur’an. Jadi, mari kita simak bersama-sama.

Secara bahasa, menurut al-Farra’ kata al-Qur’ān berasal dari kata al-Qarā’in yang berarti kawan. Pendapat ini didasarkan pada ayat-ayat yang terdapat dalam al-Qur’an saling membenarkan dan menjadi kawan antara satu dengan yang lain. Sedangkan al-Lihyani berpendapat bahwa kata al-Qur’ān berasal dari kata qara’a, yang berarti membaca. Pengertian secara kebahasaan disini hanya dipaparkan 2 pendapat tersebut, untuk selanjutnya langsung penjelasan pengertian al-Qur’an secara istilah/definitif.

Subhi Shalih mengemukakan pengertian al-Qur’an secara definitif, yaitu Kalam yang mu’jiz (melemahkan penentangnya) yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, tertulis dalam suatu mushaf. Dan diriwayatkan secara mutawatir, lalu siapapun yang membacanya dinilai sebagai ibadah. Senada dengan Subhi Shalih, ash-Shabuni juga mengemukakan pendapatnya tentang al-Qur’an. Hanya bedanya, ash-Shabuni lebih merinci dengan menyebutkan proses turunnya al-Qur’an dari malaikat kepada Nabi Muhammad SAW. Pendapat dari ulama lain seperti Muhammad Sa’id Ramadhan al-Buthi juga mengindikasikan substansi yang sama terkait al-Qur’an.

Berdasarkan pemaparan dari pendapat para ulama di atas, ada beberapa poin yang mempunyai ‘benang merah’ yang sama. Dapat diambil kesimpulan bahwa al-Qur’an adalah Kalamullah (firman Allah SWT) yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW melalui perantara Malaikat Jibril. Diturunkan sebagai mu’jiz dan diriwayatkan secara mutawatir, kemudian bagi yang membacanya dinilai sebagai ibadah. Barangkali pengertian ini yang dapat disimpulkan, selebihnya dipersilahkan siapapun untuk mengemukakan pengertian al-Qur’an menurut yang dipahami, namun tetap harus berdasarkan sumber-sumber otoritatif tentunya!!

B. Nama-Nama al-Qur’an

Berikut beberapa nama-nama al-Qur’an yang disebut sendiri oleh al-Qur’an dalam ayat-ayatnya:

  1. Al-Kitab (Tulisan)
  2. Az-Zikr (Peringatan)
  3. Al-Furqon (pembeda/pemisah)

Lalu ada pula para ulama yang membagi nama-nama al-Qur’an berdasarkan sifat-sifatnya, yaitu:

  1. Al-Majid (Mulia)
  2. Al-‘Arabiy (Berbahasa Arab)
  3. Al-‘Aziz (Mulia)

 

C. Pembagian Surat-Surat al-Qur’an

Dilihat dari sisi panjang/pendeknya ayat yang terdapat dalam satu surat al-Qur’an, para ulama membaginya menjadi 4 macam:

  1. As-Sab’u at-hiwāl, yaitu 7 jenis surat-surat al-Qur’an yang panjang-panjang. Surat-surat yang masuk dalam kategori pertama ini seperti Surat al-Baqarah, Ali ‘Imrān, an-Nisā’, al-A’rāf, al-An’ām, al-Mā’idah, dan Yūnus.
  2. Al-Mi’ūn, yaitu kategori kedua ini merupakan surat-surat yang mempunyai ayat kurang lebih 100 ayat, seperti Surat Hd dan Yūsuf.
  3. Al-Matāni, yaitu surat-surat al-Qur’an yang jumlah ayatnya kurang dari 100 ayat. Kategori ketiga ini dapat dijumpai dalam Surat al-Anfāl, at-Taubah, dan al-ājj.
  4. Al-Mufashshal, yaitu surat-surat yang jumlah ayat-ayat di dalamnya relatif lebih sedikit, atau surat-surat pendek, seperti misalnya Surat al-‘Alaq, al-Qadr, dan an-Nās.

 

D. Seputar Jumlah (Ayat dan Surat al-Qur’an)

Para ulama menyepakati jumlah surat yang ada dalam al-Qur’an terdapat 114 surat. Perbedaan terletak pada jumlah ayat-ayat al-Qur’an, yang memang kesemuanya berkisar rata-rata 6000-an ayat. Sehingga perbedaan pendapat terkait jumlah ayat tidak secara signifikan. Para ulama Makkah berpendapat jumlah seluruh ayat Qur’an ada 6220, lalu ulama kufah berpendapat ada 6236 ayat. Kemudian para ulama Madinah berpendapat jumlah ayat Qur’an sebanyak 6214. Dan terakhir para ulama Bashrah menghitung dengan total ada 6205 ayat.

Berbagai perbedaan seputar jumlah ayat Qur’an yang ada dapat diidentifikasi karena beberapa hal: Pertama, perbedaan pada penentuan status pembuka surat, apakah berdiri sendiri ataukah termasuk dalam rangkaian suatu ayat. Lalu kedua, perbedaan status basmalah yang ada berpendapat berdiri sendiri, ada pula yang menganggap sebagai satu kesatuan dengan surat terkait. Dan terakhir yang ketiga, perbedaan muncul pada penetapan failah (akhir dan penghabisan ayat).

Kemudian ada kategorisasi lain yang perlu dipaparkan dalam pembahasan ini, yaitu pembagian di dalam al-Qur’an berdasarkan juz, dan hizb. Pembagian juz di dalam al-Qur’an dibagi menjadi 30 juz. Lalu pembagian dalam bentuk hizb berjumlah 7 hizb. Dibaginya al-Qur’an menjadi 2 bentuk tersebut bertujuan untuk memudahkan para pembaca dalam mengkhatamkan bacaan al-Qur’an. Oleh karena itu pembaca diberi pilihan untuk membaca berdasarkan juz maupun hizb. Jika berdasarkan juz, maka pembaca yang ingin segera khatam maka membaginya menjadi 30 bagian. Namun jika ingin membaca berdasarkan hizb maka dibagi menjadi 7 bagian.

Kategori ketujuh hizb berikut terdiri dari hizb pertama dimulai dari Surat al-Baqarah, Ali ‘Imran, dan an-Nisa’. Lalu hizb kedua, dimulai dari Surat al-Ma’idah sampai Surat at-Taubah. Dan hizb ketiga, dari Surat Yunus hingga an-Nahl. Lalu hizb keempat dari Surat al-Isra’ sampai Surat al-Furqon. Kemudian hizb kelima dimulai dari Surat asy-Syura hingga Yasin. Lalu hizb keenam dari Surat as-Shaffat sampai al-Hujurat. Lalu Hizb ketujuh terdiri dari Surat Qaf sampai terakhir Surat an-Nas.

 

E. Turunnya al-Qur’an

Menurut beberapa ulama, al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW melalui tiga tahapan:

  1. Diturunkan ke Lauh Mahfuzh
  2. Menuju Bait al-Izzah (di langit dunia)
  3. Kepada Nabi Muhammad SAW secara berangsur-angsur

Pendapat di atas antara lain didukung oleh az-Zarkasyi dan Ibnu Hajar al-Asqalani. Sedangkan ahli-ahli tafsir yang menolak 3 tahapan tersebut diantaranya ahli tafsir Subhi Shalih. Subhi Shalih beralasan riwayat-riwayat yang menjelaskan 3 tahapan tersebut tidak sampai mutawatir, juga bertentngan dengan pernyataan al-Qur’an.

Kemudian terkait permulaan ayat yang turun, menurut pendapat yang paling kuat mengatakan bahwa Surat al-‘Alaq:1-5 merupakan yang pertama kali turun kepada Nabi SAW. Turun di Gua Hira saat Nabi Muhammad SAW sedang berkhalwat (menyendiri). Peristiwa ini bertepatan dengan Malam Senin, 17 Ramadhan (Juli) tahun 610 M. Walaupun memang ada beberapa pendapat lain yang mengatakan bahwa bukan al-‘Alaq:1-5 yang turun pertama kali.

Muhammad Abduh misalnya, berpendapat Surat al-Fatihah lah yang turun pertama kali. Lalu ada pendapat lain yang mengatakan bahwa Surat al-Muddatsir yang sebenarnya pertama kali turun. Beberapa pendapat yang berbeda dengan pendapat mainstream tersebut lalu ada yang membantah dan berlanjut mengkompromikannya. Surat al-Fatihah bukan yang pertama kali turun, tetapi surat yang pertama kali turun secara lengkap. Kemudian surat al-Muddatsir juga bukan yang pertama kali turun, melainkan surat yang pertama kali diturunkan mengenai perintah untuk menyampaikan pesan ketuhanan (Tauhid) kepada manusia.

Bahkan terkait dengan surat al-Muddatsir tersebut, menurut riwayat yang cukup kuat turun persis setelah Surat al-‘Alaq. Ketika Nabi SAW di rumahnya bersama Siti Khadijah, setelah kepulangannya dari Gua Hira. Lalu setelah peristiwa tersebut tiba suatu masa, yaitu fatrat al-Wahyi, dimana masa terputusnya wahyu. Perlu diketahui bahwa secara umum, turunnya ayat-ayat al-Qur’an lebih banyak berkaitan dengan situasi dan kondisi yang dialami oleh Nabi Muhammad SAW dan umat Islam saat itu.

Berbeda dengan surat al-Qur’an yang pertama kali turun, surat al-Qur’an yang terakhir turun lebih variatif pendapatnya., seperti nampak dalam rincian berikut:

  1. Surat yang terakhir kali turun ialah Surat al-Ma’idah:3
  2. Surat terakhir turun ialah Surat al-Baqarah: 278
  3. Terakhir turun Surat al-Baqarah: 281
  4. Ayat yang terakhir turun Surat al-Baqarah: 282

Dari keempat pendapat tersebut, pendapat pertama lebih banyak dianut oleh para ahli tafsir. Sedangkan pendapat ketiga sisanya dianut oleh sebagian ahli tafsir, yang tentu juga didasarkan pada riwayat-riwayat yang dianggap paling kuat. Perbedaan-perbedaan tersebut muncul karena beberapa tolok ukur atau kaidah yang diterapkan berbeda satu sama lain antar para ahli tafsir.

 

 

Sumber Referensi:

As-Shiddieqy, Muhammad Hasbi. Sejarah dan Pengantar Ilmu al-Qur’an dan Tafsir. Jakarta: Bulan Bintang, 1972.

Shalih, Subhi. Mabāi fī ‘Ulūm al-Qur’ān. Beirut: Dar al-‘Ilm li al-Malayin, 1997.

H.A. Athaillah. Sejarah al-Qur’an: Verifikasi tentang Otentisitas al-Qur’an. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010.

Hadis-Hadis Politis

Standard

MENGUNGKAP KEPENTINGAN POLITIK DIBALIK PENYEBARAN HADIS-HADIS POLITIS

(Ulasan atas buku “Genealogi Hadis Politis: al-Mu’awiyat dalam Kajian Islam Ilmiah”)

 IMG_20190715_125340

 

Judul Buku              : Genealogi Hadis Politis: al-Mu’awiyat dalam Kajian Islam Ilmiah

Penulis                      : Dr. Muhammad Babul Ulum

Penerbit                   : Penerbit MARJA

Tahun Terbit           : 2018

Tebal                         : 316 Halaman

 

“Semua sahabat Nabi pasti adil…”

Begitu kira-kira adagium yang dikenal dalam studi hadis ketika mengkaji para perawi hadis. Namun apakah memang benar pernyataan tersebut? Jika memang benar, apakah seluruh hadis-hadis yang diriwayatkan/berasal dari sahabat Nabi wajib diterima? Sebaliknya, bagaimana jika tidak semua sahabat Nabi mempunyai sifat adil? Apakah ini sama halnya dengan merendahkan kredibilitas sahabat Nabi? Lebih jauh, apakah jika meragukan kredibilitas sahabat Nabi, sama dengan merendahkan hadis Nabi? Inilah sedikit pertanyaan-pertanyaan yang muncul di pikiran kita sebagai akibat dari pernyataan di atas. Berbagai pertanyaan yang saling berhubungan satu sama lain, sehingga dapat dikatakan bahwa satu pernyataan menghasilkan beribu pertanyaan.

Pernyataan di atas  yang menjadi kalimat pembuka edisi book review kali ini merupakan satu pertanyaan pula yang menjadi problem fundamental yang diangkat dalam penelitian Muhammad Babul Ulum, sang penulis buku yang sedang direview kali ini. Dalam bukunya yang berjudul “Genealogi Hadis Politis: al-Mu’awiyat dalam Kajian Islam Ilmiah” ini, Muhammaf Babul Ulum (untuk selanjutnya Babul Ulum) berupaya ‘membongkar’ berbagai konspirasi yang terjadi dalam periwayatan hadis, khususnya yang terkait dengan peristiwa “Perang Shiffin” antara Ali dan Mu’awiyah. Suatu peristiwa besar dalam sejarah Islam yang membawa dampak luar biasa bagi peradaban Islam selanjutnya.

Babul Ulum dalam karyanya tersebut ingin membuktikan bahwa hadis-hadis banyak diproduksi dan diriwayatkan secara TSM (Terstruktur, Sitematis, dan massif) demi hasrat kepentingan politik. Pihak yang dinilai melakukan ini ialah Muawiyah, seorang tokoh Quraisy yang dianggap Babul Ulum sebagai ‘dalang’ utama dalam pemalsuan hadis. Dalam penelitian Babul Ulum ini dijelaskan lebih lanjut, bahwa Mu’awiyah dibantu 2 aktor penting dalam memalsukan hadis-hadis. Dua aktor yang mempunyai peran sentral dalam pemalsuan hadis tersebut ialah Saif bin Umar dan Ka’ab al-Ahbar. Kedua orang tersebut didukung dengan struktur dan infrastruktur kekuasaan yang dipegang oleh Mu’awiyah memproduksi hadis dan bahkan melakukan tahrif atas hadis-hadis Nabi. Ada 2 misi penting yang diusung dalam pemalsuan hadis ini, pertama, memproduksi hadis-hadis yang mendukung Mu’awiyah, seperti dengan hadis tentang keutamaan Mu’awiyah. Lalu kedua, memproduksi hadis-hadis untuk ‘menyerang’ pihak oposisi saat itu.

Lalu, siapakah pihak oposisi yang berseberangan dengan Mu’awiyah bin Abi Sufyan? Ya, tentu saja Ali bin Abi Thalib. Konflik Ali bin Abi Thalib dengan Mu’awiyah bin Abi Sufyan ini memang memberi dampak yang cukup luas, khususnya dalam dunia periwayatan hadis. Menurut Babul Ulum, hadis yang mendukung penguasa cenderung diterima dan perawinya cenderung diapresiasi. Sementara hadis yang mendukung oposisi cenderung ditolak dan perawinya cenderung dialienasi. Pendapat Babul Ulum tersebut didukung dengan paparan data-data dan referensi yang kaya. Cukup banyak referensi klasik yang digunakan Babul Ulum dalam desertasinya, bahkan beberapa diantaranya merupakan referensi-referensi yang jarang ‘tersentuh’ oleh para pengkaji hadis.

Penelitian Babul Ulum ini jika dilihat dalam satu bingkai wacana hadis memang ‘anti mainstream’. Karena memang berupaya ‘menggoyahkan’, bahkan ‘merobohkan’ suatu argumen yang menjadi travelling theory dari masa- ke masa, yaitu seputar keadilan sahabat. Bagi yang menyukai riset-riset ‘menantang’ maka buku Babul Ulum inilah jawabannya. Ya memang demikian, karena Babul Ulum dalam penelitiannya ini berupaya ‘menggugat’ suatu hal yang hingga saat ini masih diamini secara taken for granted. Hal ini tentu menemukan momentum dimana ada pembaca yang ‘tidak siap’ dengan hasil-hasil penelitian yang dipaparkan oleh Babul Ulum dalam bukunya ini. Ya, hal-hal yang sudah lama dianut secara taken for granted kemudian ada pihak yang ‘menggugat’ memang seringkali memunculkan respon negatif, bahkan cenderung berlebihan.

Memang sangat disarankan kepada pembaca sebelum membaca karya Babul Ulum ini hendaknya persiapkan hati dan pikiran yang jernih, menganut prinsip obyektif, dan juga jangan lupa, jauhkan sejenak segala ‘atribut’ identitas yang melekat pada diri kita. Bukan untuk menakut-nakuti, tetapi memang harus begitu. Karena jika tidak, ya akan seperti dosen penguji yang Babul Ulum ceritakan dalam bab “Pengantar Penulis” di bukunya. Apa itu? silahkan dibaca langsung saja buku hasil penelitian ilmiah Babul Ulum ini.

Apresiasi lain yang perlu diberikan kepada Babul Ulum dalam penelitiannya ini adalah upaya penulis dalam memperkaya lingkup kajian hadis. Saat ini kajian hadis dalam hal fahm al-hadis memang lebih diminati oleh para pengkaji, dari pada studi sanad hadis yang dianggap terlalu monotone dan membosankan. Buku Babul Ulum ini seolah ‘menangkis’ anggapan tersebut, dengan menawarkan perspektif baru dalam lingkup kajian sanad hadis. Barangkali tidak berlebihan jika karya Babul Ulum ini disejajarkan dengan 2 kajian pendahulunya, yaitu yang berjudul Metode Kritik Hadis karya Kamaruddin Amin dan Sahabat Nabi karya Fuad Jabali. Yang sama-sama karya desertasi, mengulas validitas periwayatan hadis dengan referensi-referensi yang sangat kaya.

Bagaimanapun juga, suatu karya tulis tidak dapat dipisahkan dari sisi subyektifitas penulisnya. Tinggal bagaimana seorang penulis dapat meminimalisir aspek subyektifitasnya tersebut, agar tidak dominan bercampur dengan suatu penelitian yang sedang dikajinya. Ya bisa juga dikatakan sebagai upaya penulis untuk menghindarkannya dari sikap mudah menjustifikasi secara sporadis dan truth klaim dalam karya yang dihasilkan. Babul Ulum dalam penelitiannya ini, ketika membaca setiap kalimat yang ditulisnya, pembaca akan merasa bagaimana subyektifitasnya turut ‘mengalir’ dalam bukunya tersebut.

Ini dibuktikan dengan beberapa ungkapan yang dipakai dalam bukunya tersebut, yang sedikit banyak memperlihatkan sikap emosionalnya. Selain itu, Babul Ulum juga terlihat kurang dalam membahas hadis-hadis yang dipalsukan untuk mengagungkan Ali. Ini perlu dilakukan sebagai konsekuensi dari penelitian akademik yang menekankan pada keilmiahan dengan memaparkan data-data atau fakta-fakta yang adil dan tidak memihak. Ya mungkin itu dulu, sedikit yang dapat saya sampaikan dalam edisi book review kali ini. Intinya, secara umum ya, buku karya Babul Ulum ini tetap recommended, bahkan saya katakan sangat recommended dibaca bagi para peminat kajian hadis. Untuk membuka dan lebih memperkaya khazanah kajian hadis agar semakin variatif dan menarik. Sekiaan!

 

 

 

STUDI KITAB

Standard

Ash-Shabuni dan Kitab Tafsir Ijaz al-Bayan fi Suwar al-Qur’an

A. Biografi Ali as-Shabuni
Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Ali bin Jamil As-Shobuni. Beliau lahir di Kota Aleppo Syiria pada tahun 1928 M.Syekh al-Shabuni dibesarkan di tengah-tengah keluarga terpelajar. Ayahnya, Syekh Jamil, merupakan salah seorang ulama senior di Aleppo. Ia memperoleh pendidikan dasar dan formal mengenai bahasa Arab, ilmu waris, dan ilmu-ilmu agama di bawah bimbingan langsung sang ayah. Sejak usia kanak-kanak, ia sudah memperlihatkan bakat dan kecerdasan dalam menyerap berbagai ilmu agama. Di usianya yang masih belia, Al-Shabuni sudah hafal Alquran. Tak heran bila kemampuannya ini membuat banyak ulama di tempatnya belajar sangat menyukai kepribadian al-Shabuni.
Setelah lama berkecimpung dalam dunia pendidikan di Syiria, beliau pun melanjutkan pendidikannya di Mesir, dan merampungkan program magisternya di universitas Al-Azhar mengambil tesis khusus tentang perundang-undangan dalam islam pada tahun 1954 M. Saat ini bermukim di Mekkah dan tercatat sebagai salah seorang staf pengajar tafsir dan ulumul Qur’an di fakultas Syari’ah dan Dirosat Islamiyah universitas Malik Abdul Aziz Makkah.
Guru-guru Syaikh Ali ash-Shabuniantara lain adalah sang ayah, Jamil al-Shabuni. Ia juga berguru pada ulama terkemuka di Aleppo, seperti Syekh Muhammad Najib Sirajuddin, Syekh Ahmad al-Shama, Syekh Muhammad Said al-Idlibi, Syekh Muhammad Raghib al-Tabbakh dan Syekh Muhammad Najib Khayatah. Untuk menambah pengetahuannya, al-Shabuni juga kerap mengikuti kajian-kajian para ulama lainnya yang biasa diselenggarakan di berbagai masjid.Setelah menamatkan pendidikan dasar, al-Shabuni melanjutkan pendidikan formalnya di sekolah milik pemerintah, Madrasah al-Tijariyyah.
Di sini, ia hanya mengenyam pendidikan selama satu tahun. Kemudian, ia meneruskan pendidikan di sekolah khusus syariah, Khasrawiyya, yang berada di Aleppo. Saat bersekolah di Khasrawiyya, ia tidak hanya mempelajari bidang ilmu-ilmu Islam, tetapi juga mata pelajaran umum. Ia berhasil menyelesaikan pendidikan di Khasrawiyya dan lulus tahun 1949.
Selepas dari Mesir, al-Shabuni kembali ke kota kelahirannya, beliau mengajar di berbagai sekolah menengah atas yang ada di Aleppo. Pekerjaan sebagai guru sekolah menengah atas ini ia lakoni selama delapan tahun, dari tahun 1955 hingga 1962. Setelah itu, ia mendapatkan tawaran untuk mengajar di Fakultas Syariah Universitas Umm al-Qura dan Fakultas Ilmu Pendidikan Islam Universitas King Abdul Aziz. Kedua universitas ini berada di Kota Makkah. Ia menghabiskan waktu dengan kesibukannya mengajar di dua perguruan tinggi ini selama 28 tahun. Karena prestasi akademik dan kemampuannya dalam menulis, saat menjadi dosen di Universitas Umm al-Qura, al-Shabuni pernah menyandang jabatan ketua Fakultas Syariah. Ia juga dipercaya untuk mengepalai Pusat Kajian Akademik dan Pelestarian Warisan Islam. Hingga kini, ia tercatat sebagai guru besar Ilmu Tafsir pada Fakultas Ilmu Pendidikan Islam Universitas King Abdul Aziz.
Di samping mengajar di kedua universitas itu, Syekh al-Shabuni juga kerap memberikan kuliah terbuka bagi masyarakat umum yang bertempat di Masjidil Haram. Kuliah umum serupa mengenai tafsir juga digelar di salah satu masjid di Kota Jeddah. Kegiatan ini berlangsung selama sekitar delapan tahun.Setiap materi yang disampaikannya dalam kuliah umum ini, oleh al-Shabuni, direkam-nya dalam kaset. Bahkan, tidak sedikit dari hasil rekaman tersebut yang kemudian ditayangkan dalam program khusus di televisi. Proses rekaman yang berisi kuliah-kuliah umum Syekh ash-Shabuni ini berhasil diselesaikan pada tahun 1998.
Di samping sibuk mengajar, al-Shabuni juga aktif dalam organisasi Liga Muslim Dunia. Saat di Liga Muslim Dunia, ia menjabat sebagai penasihat pada Dewan Riset Kajian Ilmiah mengenai Al-Qur’an dan Sunnah. Ia bergabung dalam organisasi ini selama beberapa tahun. Setelah itu, ia mengabdikan dirinya sepenuhnya untuk menulis dan melakukan penelitian.

B. Karya-karya Muhammad Ali ash-Shabuni
Diantara karya-karya Muhammad Ali ash-Shabuni antara lain:
1. Ikhtisar Tafsir Ibn Katsir
2. Rawa’i al-Bayan Tafsir ayat al-Ahkam min al-Qur’an
3. At-Tibyan fi ‘Ulum al-Qur’an
4. Safwat at-Tafasir li al-Qur’an al-Karim
5. Ijaz al-Bayan fi Suwar al-Qur’an
6. Al-Mawarits fi al-Syari’ah al-Islamiyyah
7. al-Nubuwwah wa al-Anbiya
8. Min Kunuz as-Sunnah
9. Risalah as-Shalah
C. Latar belakang penulisan Kitab Tafsir Ijaz al-Bayan fi Suwar al-Qur’an
Muhammad Ali ash-Shabuni dalam menyusun kitab tafsirnya ini berusaha untuk menyingkap maksud-maksud dan tujuan yang terkandung dalam al-Qur’an. Selain itu, untuk menjelaskan secara jelas bagaimana tema atau pokok-pokok permasalahan yang menjadi pembicaraan. Beberapa pokok-pokok permasalahan yang diangkat antara lain ibadah, mu’amalah, hukum syar’i, akhlak, kisah-kisah, kabar/riwayat, dan lain-lain yang terdapat dalam suatu surat al-Qur’an. Ash-Shabuni dalam menyusun tafsir Ijaz al-Bayan fi Suwar al-Qur’an ini menukil dari kitab Jami’. Semuanya dikaji menurut bagian-bagian surat al-Qur’an. Lalu disempurnakan dengan menguraikan faedah-faedah umum yang bermanfaat. Dari sini dapat dikatakan bahwa motif penyusunan kitab tafsirnya tersebut lebih dilatarbelakangi kepedulian ash-Shabuni terhadap umat Islam untuk melakukan pengkajian al-Qur’an lebih mendalam dan menyajikan sebuah tafsir yang menguraikan hikmah dan faedah-faedah yang bermanfaat.
D. Sistematika Kitab Ijaz al-Bayan fi Suwar al-Qur’an
Muhammad Ali ash-Shabuni dalam penafsirannya ini menggunakan sistematika yang pertama, yaitu tartīb muṣḥafī (urutan ayat dan surat). Berdasarkan sistematika tersebut maka, Muhammad Ali as-Shabuni menyelesaikan penafsiran seluruh surat al-Qur’an, yang dimulai dengan surat al-Fātihah dan diakhiri dengan surat an-Nās. Penafsiran yang dilakukan Muhammad Ali as-Shabuni terhadap ayat-ayat al-Qur’an hanya ditafsirkan secara singkat, bahkan tidak jarang ada beberapa ayat yang dihimpun menjadi satu penafsiran, dan ada juga beberapa ayat yang tidak ditafsirkan.
Muhammad Ali ash-Shabuni mengawali dengan memaparkan daftar isi (Fihras) kitab tafsirnya, yang berisi muqaddimah kitab dan daftar surat-surat beserta halamannya. Kemudian Muhammad Ali ash-Shabuni dalam tafsirnya di Kitab Ijaz al-Bayan fi Suwar al-Qur’an memaparkan terlebih dahulu tentang maksud dan tujuan penulisan tafsirnya yang terdapat dalam muqaddimah kitab tafsir Ijaz al-Bayan fi Suwar al-Qur’an. Dan dilanjutkan dengan menafsirkan al-Qur’an yang dimulai surat al-Fātiḥah hingga terakhir surat an-Nās.
Muhammad Ali ash-Shabuni menyelesaikan penafsiran al-Qur’an dalam Kitab Ijaz al-Bayan fi Suwar al-Qur’an ini pada tanggal 17 Rabi’ul Awwal 1398 H. Penulisan waktu penyelesaian penafsirannya ini dapat dilihat dalam akhir penafsiran Surat an-Nas. Sesudah menyelesaikan penafsirannya tersebut, Kitab Ijaz al-Bayan fi Suwar al-Qur’ankarya Muhammad Ali ash-Shabuni ini baru terbit secara resmi 32 tahun berikutnya, yaitu pada tahun 1430 H.
E. Metode Penyusunan Kitab Ijaz al-Bayan fi Suwar al-Qur’an
Metode yang dipakai oleh Muhammad Ali ash-Shabuni dalam Kitab Tafsirnya Ijaz al-Bayan fi Suwar al-Qur’an ini adalah metode ijmali.Ash-Shabuni dalam tafsirnya ini menjelaskan pesan atau isi kandungan al-Qur’an dengan menguraikan makna-makna umum yang dikandung oleh suatu ayat dalam surat.
Hal ini diperkuat dengan adanya fakta bahwa dalam tafsirnya tersebut ash-Shabuni tidak menjelaskan secara rinci makna-makna kosakata dan aspek-aspek balaghah yang lain. Tetapi langsung menjelaskan kandungan ayat secara umum atau hukum dan hikmah yang dapat ditarik. Ibarat sebuah makanan, ash-Shabuni telah menghidangkan dengan sedemikian rupa, sehingga pembaca siap tinggal menyantapnya saja. Pembaca tidak dibingungkan dengan penjelasan yang ruwet, atau bahkan bertele-tele panjang lebar, tetapi pembaca dapat langsung paham akan kandungan yang ada dalam suatu surat.
Dalam menafsirkan al-Qur’an, ash-Shabuni tidak berbeda dengan mufassir pada umumnya, yang menetapkan beberapa langkah metodis menafsirkan al-Qur’an.Dalam menyusun kitab tafsirnya yang lain, yaitu Tafsir Rawa’i al-Bayan Tafsir ayat al-Ahkam min al-Qur’an, Muhammad Ali ash-Shabuni langsung mengutip pendapat ulama yang dianggapnya kuat, tidak memaparkan pendapat ulama-ulama lain seperti Imam Malik, Ibnu Taimiyah, Hasan al-Banna, al-Waqidi,asy-Syathibi, dan lain-lain. Penulis menduga hal ini dilakukan oleh ash-Shabuni untuk lebih mengerucutkan penjelasan agar tidak melebar dan bertele-tele, sesuai dengan metode yang dipakainya, yaitu ijmali.Kendatipun demikian, penggunaan hadis-hadis Nabi dalam penafsirannya tetap dilakukan, walaupun relatif sedikit.
Menurut penulis, penafsiran yang dilakukan oleh Muhammad Ali as-Shabuni dalam kitab tafsir Ijaz al-Bayan fi Suwar al-Qur’an nya mencakup 3 hal: pertama, mengelompokan Makkiyah atau Madaniyyah; kedua, menjelaskan penamaan surat; dan ketiga, menjelaskan kandungan surat. Upaya ash-Shabuni patut diapresiasi dalam “menghidangkan” tafsir al-Qur’an kepada umat Islam (khususnya orang-orang awam). Ash-Shabuni menghidangkannya dengan “instan”, sehingga orang akan mudah memahami isi, kandungan, dan keutamaan/hikmah yang terdapat dalam al-Qur’an. Bisa dibilang, dengan aspek praktis dan instan yang dimiliki tafsir Ijaz al-Bayan fi Suwar al-Qur’an tersebut menjadi nilai keunggulan tersendiri, ditengah tuntutan solusi atas permasalahan kehidupan manusia.
Dalam hal kredibilitas ash-Shabuni sendiri, Muhammad al-Ghazali melihat secara umum bahwa penafsiran-penafsiran al-Qur’an yang dilakukan oleh ash-Shabuni pada berbagai kitab tafsirnya telah memberikan perspektif baru dan pencerahan yang berarti. Penafsiran-penafsiran al-Qur’annya senantiasadisajikan secara ilmiah dan berspektif adabiyah (kebudayaan dan kemanusiaan), yang menjadikannya kaya akan nilai-nilai kebenaran serta hikmah-hikmah yang sangat bermanfaat. Kepopuleran tafsir-tafsir ash-Shabuni yang lain yaitu Rawai’ al-Bayan, Shafwat at-Tafasir, dan at-Tibyannya telah mengalahkan karya ash-Shabuni yang lain, termasuk tafsir Ijaz al-Bayan fi Suwar al-Qur’an yang penulis teliti ini. Hal ini membuat kajian terhadap karya-karya ash-Shabuni lebih populer dan marak pada tiga tafsir tersebut, dari pada Ijaz al-Bayan fi Suwar al-Qur’anini. Ini dapat dilihat dengan banyaknya karya-karya penelitian, skripsi dan tesis misalnya, yang lebih banyak meneliti 3 tafsir ash-Shabuni tersebut.

Referensi:
Baidhowi, Ahmad (dkk.). 2012.Studi Kitab Tafsir Klasik-Tengah.Yogyakarta: TH Press.
Gusmian, Islah. 2003.Khazanah Tafsir Indonesia, Dari Hermeneutika hingga Ideologi. Bandung:Teraju.
Mansur, Muhammad. Amin al-Khulli dan Pergeseran Paradigma Tafsir al-Qur’an, Jurnal Studi ilmu-ilmu al-Qur’an dan Hadis, Vol. 6, No. 2, Juli, 2005.
ash-Shabuni,Muhammad Ali. 1430 H. Ijaz al-Bayan fi Suwar al-Qur’an. Madinah: Maktabah al-Ghazali.
ash-Shabuni, Muhammad Ali. t.t. Rawai’ al-Bayan Tafsir Ayat al-Ahkam min al-Qur’an. Beirut: Dar al-Fikr.
ash-Shabuni, Muhammad Ali. t.t.Shafwat at-Tafasir. Beirut: Dar al-Fikr.
Shihab, M. Quraish. 2013. Kaidah Tafsir. Tangerang: lentera Hati.

Syarat dan Adab Mufassir

Standard

BAB II

PEMBAHASAN

 

  1. A.    Syarat-Syarat Mufasir

Sebagaimana yang kita maklum, bahwa Al Qur’an adalah kitab pedoman hidup Al Qur’an (the way of life). Keterbatasan bahasa Al Qur’an yang mengandung banyak penafsiran harus diuraikan dengan benar secara metodologis, agar dapat dipahami dan dijadikan pedoman bagi umat Islam. Membaca dan memahami Al Qur’an memang adalah hak, bahkan kewajiban setiap umat muslim, namun menafsirkan kandungan ayat Al Qur’an, tidak semua orang diperbolehkan melakukanya. Terdapat beberapa persyaratan yang harus dipenuhi oleh eorang mufasir. Hal ini dilakukan agar tidak terjadi salah penafsiran (mal Praktek) akibat tidak adanya ilmu yang mumpuni yang dikuasai mufasir.

  1. Syarat-syarat dari aspek kepribadian

Mufasir adalah kunci pemahaman umat muslim terhadap Al Qur’an. Yang mana kandungan ayat Al Qur’an mencakup berbagai aspek kehidupan umat Islam, baik akidah, akhlak, syariah, ibadah dan sebagainya. Menjadi seorang mufasir sama halnya mengemban amanat yang berat dari seluruh umat muslim. oleh karena itu, seorang mufasir harus memiliki kepribadian yang mulia dan nilai-nilai ruhiyah yang luhur dalam menyingkap hakikat-hakkat makna ayat-ayat Al Qur’an. Diantaranya adalah sebagai berikut:

  1. Akidah yang benar.

Akidah sangat berpengaruh terhadap jiwa pemiliknya, dan sering kali mendorongnya untuk mengubah nash-nash dan berkhianat dalam penyampaian berita. Apabila seseorang menyusun sebuah kitab tafsir, maka dita’wilkanya kepada madzabnya yang batil guna memalingkan manusia dari mengikuti golongan salaf dan dari jalan petunjuk.

  1. Tidak mengikuti hawa nafsu

Hawa nafsu membawa pemiliknya kepada paham subjektifnya sekalipun salah dan menolok yang lain, meskipun yang ditolak itu benar.

  1. Berniat baik dan bertujuan benar

Seorang mufasir menafsirkan al Qur’an didasarkan atas iklas dan mengharap ridho Allah, tidak mengharap kemulyaan dan kehormatan atau kewibawaan.

  1. Berahlak mulia

Mufasir bagai seorang pendidik yang didikannya itu tidak akan berpengaruh ke dalam jiwa tanpa ia menjadi panutan yang diikuti dalam hal akhlak dan perbuatan mulia.

  1. Tawadhu dan lemah lembut

Kesombongan ilmiah merupakan dinding kokoh yang menghalangi antara seorang alim dengan kemanfaatan ilmunya.[1]

  1. Aspek Intelektual

Syarat yang berkaitan dengan aspek intelektual yang harus dikuasai oleh seorang mufassir ini dibagi menjadi dua, yaitu: syarat pengetahuan murni dan syarat manhajiyah (berkaitan dengan metode). Imam Jalaluddin As-Suyuthy dalam Al-Itqân fî ‘Ulûm al-Qurân menyebutkan lima belas ilmu yang harus dikuasai oleh seorang mufassir. Lima belas ilmu tersebut adalah sebagai berikut:

  1. Bahasa Arab karena dengannya seorang mufassir mengetahui penjelasan kosakata suatu lafal dan maksudnya sesuai dengan objek.

Oleh karena demikian urgennya penguasaan terhadap bahasa Arab dalam menafsirkan Al-Quran, Mujahid bahkan mengatakan,

لا يحل لأحد يؤمن بالله واليوم الآخر أن يتكلم في كتاب الله إذا لم يكن عالمًا بلغات العرب‏.

“Tidak halal bagi seorang yang beriman kepada Allah dan hari akhir berbicara mengenai sesuatu yang terdapat dalam Kitâbullâh apabila ia tidak mengetahui bahasa Arab.”

  1. Nahwu karena suatu makna bisa saja berubah-ubah dan berlainan sesuai dengan perbedaan i’rab.
  2. Tashrîf (sharaf) karena dengannya dapat diketahui binâ’ (struktur) dan shîghah (tense) suatu kata.
  3. Isytiqâq (derivasi) karena suatu nama apabila isytiqâqnya berasal dari dua subjek yang berbeda, maka artinya pun juga pasti berbeda. Misalnya (المسيح), apakah berasal dari (السياحة) atau (المسح‏).
  4. Al-Ma‘âni karena dengannya dapat diketahui kekhususan tarkîb (komposisi) suatu kalimat dari segi manfaat suatu makna.
  5. Al-Bayân karena dengannya dapat diketahui kekhususan tarkîb (komposisi) suatu kalimat dari segi perbedaannya sesuai dengan jelas tidaknya suatu makna.
  6. Al-Badî‘ karena dengannya dapat diketahui kekhususan tarkîb (komposisi) suatu kalimat dari segi keindahan suatu kalimat.

Ketiga ilmu di atas disebut ilmu balaghah yang merupakan ilmu yang harus dikuasai dan diperhatikan oleh seorang mufassir agar memiliki sense terhadap keindahan bahasa (i‘jâz) Al-Quran.

  1. Ilmu qirâ’ah karena dengannya dapat diketahui cara mengucapkan Al-Quran dan kuat tidaknya model bacaan yang disampaikan antara satu qâri’ dengan qâri’ lainnya.
  2. Ushûluddîn (prinsip-prinsip dien) yang terdapat di dalam Al-Quran berupa ayat yang secara tekstual menunjukkan sesuatu yang tidak boleh ada pada Allah ta‘ala. Seorang ahli ushul bertugas untuk menakwilkan hal itu dan mengemukakan dalil terhadap sesuatu yang boleh, wajib, dan tidak boleh.
  3. Ushul fikih karena dengannya dapat diketahui wajh al-istidlâl (segi penunjukan dalil) terhadap hukum dan istinbâth.
  4. Asbâbun Nuzûl (sebab-sebab turunnya ayat) karena dengannya dapat diketahui maksud ayat sesuai dengan peristiwa diturunkannya.
  5. An-Nâsikh wa al-Mansûkh agar diketahui mana ayat yang muhkam (ditetapkan hukumnya) dari ayat selainnya.
  6. Fikih.
  7. Hadits-hadits penjelas untuk menafsirkan yang mujmal (global) dan mubham (tidak diketahui).
  8. Ilmu muhibah (bakat), yaitu ilmu yang Allah ta‘ala anugerahkan kepada orang yang mengamalkan ilmunya.[2]

Adapun bagi seorang mufassir kontemporer, menurut Ahmad Bazawy Adh-Dhawy[3], maka ia harus menguasai tiga syarat pengetahuan tambahan selain lima belas ilmu di atas. Tiga syarat pengetahuan tersebut adalah:

  1. Mengetahui secara sempurna ilmu-ilmu kontemporer hingga mampu memberikan penafsiran terhadap Al-Quran yang turut membangun peradaban yang benar agar terwujud universalitas Islam.
  2. Mengetahui pemikiran filsafat, sosial, ekonomi, dan politik yang sedang mendominasi dunia agar mufassir mampu mengcounter setiap syubhat yang ditujukan kepada Islam serta memunculkan hakikat dan sikap Al-Quran Al-Karim terhadap setiap problematika kontemporer. Dengan demikian, ia telah berpartisipasi dalam menyadarkan umat terhadap hakikat Islam beserta keistimewaan pemikiran dan peradabannya.
  3. Memiliki kesadaran terhadap problematika kontemporer. Pengetahuan ini sangat urgen untuk memperlihatkan bagaimana sikap dan solusi Islam terhadap problem tersebut.

 

 

  1. B.     Adab Mufasir

Yang dimaksud adab mufasir di sini adalah adab mufsir dalam menafsirkan Al Qur’an. Para ulama berkata, “Barangsiapa hendak menafsirkan kitab yang mulia maka pertama kali dia mencarinya dari al-Qur’an. Sesungguhnya yang dijelaskan secara global pada suatu tempat maka akan ditafsirkan pada tempat yang lain. Apa yang diringkas pada suatu tempat akan dijelaskan secara luas pada tempat yang lain (mujmal)”. Jika suatu penjelasan tidak ditemukan pada ayat yang lain di dalam al-Qur’an, maka dapat dicari dalam sunnah. Sesungguhnya sunnah merupakan syarah terhadap al-Qur’an. Jika tidak ditemukan dalam sunnah, maka dapat merujuk kepada perkataan para sahabat. Sesungguhnya mereka lebih memahami terhadap situasi dan kondisi yang melingkupi turunnya al-Qur’an.

Menurut az-Zarkasyi dalam kitab al-Burhan sebagaimana yang dikutip oleh as-Suyuti dalam al-Itqan fi Ulumil Qur’an, bagi seseorang yang hendak menafsirkan al-Qur’an harus memiliki banyak referensi. Pada dasarnya terdapat empat referensi paling utama dalam menafsirkan al-Qur’an, yaitu: pertama, riwayat dari Rasulullah. Berkenaan dengan hal ini perlu diperhatikan juga kualitas riwayat tersebut.

Kedua, perkataan seorang sahabat. Perkataan sahabat memiliki kedudukan tafsir yang sama dengan marfu’ kepada Rasulullah SAW. Sebagaimana yang dikatakan al-Hakim dalam kitab al-Mustadraknya. Merujuk pada riwayat sahabat ini khusus pada penjelasan tentang sabab an-nuzul dan semisalnya. Sementara, merujuk pada pendapat tabi’in masih diperdebatkan para ulama.

            Ketiga, mengambil kemutlakan bahasa. Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab yang jelas. Maka dari itu, dalam menafsirkan al-Qur’a, harus berpedoman pada kaidah-kaidah bahasa Arab.

Keempat, tafsir dengan petunjuk makna pembicaraan dan pemahaman yang baik dari sisi kekuatan syari’at.

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

al-Qaṭṭān, Mannā` Khalīl. Studi Ilmu-ilmu al-Qur`an. Cet. 14. Bogor: Pustaka Litera AntarNusa. 2011.

ar-Rumi, Fahd bin Abdirrahman. Ulumul Qur`an. Yogyakarta: Titian Ilahi. 1996.

Suyuthi, Imam. al-Itqan fi Ulumil Qur’an. Solo: Indiva Media Kreasi. 2009.

As-Shiddieqy, T.M. Hasbi. Sejarah dan Pengantar Ilmu a-Qur’an dan Tafsir. Semarang: Pustaka Rizki Putra. 2009.

Baidan, Nashruddin. Metode Penafsiran a-Qur’an. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2002.