PENGANTAR ‘ULUMUL HADITS

D. BAHAN-BAHAN

I. PENGERTIAN HADIS

            Kata Hadis berasal dari bahasa Arab, al-h}adîs|. Secara literal kata Hadis bermakna “komunikasi”, “cerita”, “perbincangan”; baik berkaitan dengan masalah keagamaan maupun keduniawian, bersifat historis maupun kekinian. Dalam bahasa Arab, kata tersebut dapat juga dipakai sebagai ajektif (kata sifat), yang bermakna al-jadîd (yang baru), lawan dari al-qadîm (yang lama).[1]

Sepanjang penggunaannya dalam al-Qur’an, bentuk tunggal (mufrad) kata  h}adîs| diulang sebanyak 23 kali. Sedangkan bentuk jamaknya (plural), yakni ah}âdîs|, diulang sebanyak 5 kali.[2] Di antara makna h}adîs| dalam ayat-ayat itu adalah:

  1. Komunikasi religius, pesan atau al-Qur’an.

اللهُ نَزَّلَ اَحْسَنَ الْحَدِيْثِ كِتَابًا مُتَشَابِهًا … (الآية)

Allah Swt  telah menurunkan perkataan yang paling baik, yaitu al-Qur’an yang serupa (mutu ayat-ayatnya)”. (Qs. al-Zumar/39: 23)

فَذَرْنِى وَمَنْ يُكَذِّبُ بِهَذَا الْحَدِيْثِ … (الآية)

Maka serahkanlah (hai Muhammad) kepada-Ku (urusan) orang-orang yang mendustakan perkataan ini (al-Qur’an)”. (Qs. AL-Qalam/68: 44)

  1. Cerita tentang masalah keduniawian atau umum:

وَإِذَا رَأَيْتَ الَّذِيْنَ يَخُوْضُوْنَ فِى آيَاتِنَا فَأَعْرِضْ عَنْهُمْ حَتَّى يَخُوْضُوْا فِى حَدِيْثٍ غَيْرِهِ.

Dan apabila kamu melihat orang-orang memperolok-olok ayat-ayat Kami, maka tinggalkanlah mereka sehingga mereka membicarakan pembicaraan yang lainnya”. (Qs. 6: 68).

  1. Cerita historis:

وَهَلْ اَتَاكَ حَدِيْثُ مُوْسَى.

Apakah telah sampai kepadamu cerita Musa”. (Qs. 20: 9).

  1. Cerita atau perbincangan yang masih hangat:

وَإِذْ اَسَرَّ النَّبِىُّ اِلَى بَعْضِ اَزْوَاجِهِ حَدِيْثًا … (الآية)

Dan ingatlah ketika Nabi Saw membicarakan secara rahasia kepada salah seorang istrinya (Hafshah) suatu peristiwa”. (Qs. 66: 3).

Walaupun kata h}adîs| berwazan fa’îl sebagaimana kata karîm dan  jamîl, tetapi kata tersebut bukan s}ifah musyabbahah, melainkan ism  (kata benda) yang diambil dari kata tah}dîs| yang berarti riwâyah atau ikhbâr (mengabarkan) yang memiliki bentuk jamak h}îds|ân, h}uds|ân, dan ah}adîs|. Bentuk jamak yang terakhir inilah yang dipakai untuk kata Hadis yang bermakna berita dari Nabi Saw.[3] Pengertian Hadis secara etimologis di atas sejalan dengan pendapat ‘Abul Baqa’ tentang asal-usul kata itu. Menurutnya, kata Hadis yang berasal dari kata tah}dîs| berarti “pembicaraan”.

Arti kata Hadis sebagai “pembicaraan” juga telah dikenal oleh masyarakat Arab pada masa jahiliyah, ketika mereka mengatakan “hari-hari mereka yang terkenal” dengan sebutan ah}adîs| (buah pembicaraan); bentuk jamak dari kata h}adîs|. Tetapi al-Zamakhsyari dalam tafsir al-Kasysyâf, sebagaimana dikutip Hasbi Ash Shiddieqy,  berpendapat bahwa kata ah}adîs| } merupakan ism jama‘ (kata benda plural) dari kata h}adîs|, bukan jama‘nya.[4] Sementara al-Zarkasyi berpendapat bahwa kata ah}adîs| bukan ism jama‘, melainkan jama‘ taksîr (jamak tidak beraturan) dari kata h}adîs| yang tidak mengikuti analogi seperti kata abât}îl. Menurutnya,  ism jama‘ tidak ada yang memiliki wazan ini.[5]

Pendapat yang sama dikemukakan oleh Muhammad ‘Ajaj al-Khathib. Menurutnya, bentuk jamak dari kata h}adîs} adalah ah}adîs}, sebagaimana bentuk jamak kata qat}î‘ adalah aqât}î‘. Ia merupakan bentuk yang keluar dari aturan (syaz|) karena tidak mengikuti qiyas (analogi).[6]

Pengertian Hadis secara terminologi disampaikan oleh para ulama secara berbeda-beda. Pendapat mereka dapat dirangkum sebagai berikut:

  1. Menurut sebagian ahli Hadis (muhadditsûn), istilah Hadis menunjuk kepada “makna atau sesuatu yang dinisbahkan kepada Nabi Saw., baik berupa perkataan, perilaku, persetujuan beliau akan tindakan sahabat, atau deskripsi tentang karakter dan sifatnya”. Sifat yang dimaksud di sini menunjuk kepada penampilan fisikal beliau. Namun demikian, penampilan fisikal Nabi Saw, menurut ahli fiqh (fuqahâ’), tidak termasuk kategori Hadis.[7]
  2. Ulama yang lain berpendapat, bahwa Hadis adalah “segala perkataan Rasulullah saw., perbuatan, ketetapan, sifat, perikehidupan, segala keinginan, dan sebagian khabarnya”; atau “apa yang disandarkan kepada Rasulullah saw., baik perkataan, perbuatan, ketetapan, maupun akhlak beliau”.[8]
  3. Sedangkan menurut ulama ushul (ahli hukum), Hadis didefinisikan sebagai “segala perkataan, perbuatan, dan ketetapan Nabi Saw. yang bersangkut paut dengan hukum”. Berdasarkan definisi ini, menurut Hasbi Ash-Shiddieqy, segala yang datang dari Nabi Saw. yang tidak ada sangkut pautnya dengan hukum, seperti urusan pakaian, tidak termasuk kategori Hadis.[9]

Kalangan ulama ada yang menyatakan, apa yang berasal dari sahabat Nabi Saw dan tabi’in disebut juga dengan Hadis. Pendapat ini didasarkan pada adanya istilah Hadis marfû’ (Hadis yang disandarkan kepada Nabi Saw), Hadis mawqûf (Hadis yang disandarkan hanya sampai kepada sahabat Nabi), dan Hadis maqt}û‘ (Hadis yang disandarkan hanya sampai kepada tabi’in).[10] Sebagian ulama berpendapat, jika kata Hadis berdiri sendiri, dalam arti tidak dikaitkan dengan kata atau istilah lain, maka biasanya yang dimaksud adalah apa yang berasal atau disandarkan kepada Nabi Saw. Namun demikian, kadang-kadang kata Hadis yang berdiri sendiri itu juga memiliki pengertian tentang apa yang disandarkan kepada sahabat atau tabi’in.

II. HADIS, KHABAR DAN ATSAR

Ada istilah lain yang digunakan untuk mengungkapkan makna yang sama dengan arti Hadis, yaitu atsar dan khabar. Kebanyakan para ahli menggunakan istilah tersebut sebagai sinonim. Meskipun demikian, ada sebagian ahli, terutama penduduk Khurasan dulu, menggunakannya dalam makna yang berbeda. Mereka menggunakan kata khabar semakna dengan istilah Hadis, dan kata atsar untuk menunjukkan perkataan atau keputusan para sahabat.[11]

Pendapat tersebut dikuatkan oleh Muhammad al-Zafzaf. Menurutnya, khabar lebih cenderung sinonim dengan Hadis. Sebab, jika Hadis terbatas pada apa saja yang disandarkan kepada Nabi Saw., maka khabar  lebih luas daripada Hadis, yaitu segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Saw dan selain beliau, sehingga ia mencakup Hadis marfu’ (segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Saw) dan mawqûf (segala sesuatu yang disandarkan kepada sahabat). Begitu pula atsar, menurutnya lebih cenderung berarti segala sesuatu yang disandarkan kepada selain Nabi Saw., yang secara khusus dinamakan Hadis mawqûf.[12]

Alasan para ahli Hadis yang berpendapat bahwa Hadis dan khabar merupakan sinonim, adalah kenyataan bahwa para perawi Hadis tidak hanya meriwayatkan Hadis yang disandarkan kepada Nabi Saw. (marfû’) saja, melainkan juga kepada apa yang bersumber dari para sahabat (mawqûf), atau bahkan yang hanya sampai pada tabi’in (maqt}û‘).[13] Menurut mereka, karena riwayat adalah pemberitaan yang diambil dari sana-sini, maka tidak salah jika menamakan Hadis sebagai khabar dan menyebut khabar  sebagai Hadis. Dalam konteks inilah mereka memandang atsar semakna dengan khabar dan Hadis.

III. HUBUNGAN HADIS DAN SUNNAH

Selain itu, ada istilah kunci lainnya yang dipakai hampir semakna dengan istilah Hadis. Istilah tersebut adalah Sunnah. Secara etimologis, kata Sunnah berarti: jalan, arah, peraturan, mode atau cara tentang tindakan, atau sikap hidup.[14] Menurut pengarang kitab Lisân al-‘Arab, Sunnah pada mulanya berarti cara atau jalan, yaitu jalan yang dilalui orang-orang dahulu kemudian diikuti oleh orang-orang belakangan. Dalam kitab Mukhtar al-S}ih}ah} disebutkan bahwa Sunnah secara etimologis berarti tata cara dan tingkah laku atau perilaku hidup, baik yang terpuji maupun tercela.[15]

Kata Sunnah dalam bentuk tunggal dan bentuk jamaknya, sunan, digunakan dalam al-Qur’an sebanyak 16 kali.[16] Sepanjang penggunaannya dalam al-Qur’an, kata Sunnah seringkali dipakai dalam pengertian arah peraturan yang sudah mapan, mode kehidupan, dan garisan sikap.

Misalnya, firman Allah Swt yang berbunyi:

سُنَّةَ مَنْ قَدْ أَرْسَلْنَا قَبْلَكَ مِنْ رُسُلِنَا وَلاَ تَجِدُ لِسُنَّتِنَا تَحْوِيْلاً.

“(Kami menetapkan yang demikian itu) sebagai suatu ketetapan terhadap rasul-rasul Kami yang Kami utus sebelum kamu dan tidak akan kamu dapati perubahan bagi ketetapan Kami itu”. (Qs. al-Isra’/17: 77).

يُرِيْدُ اللهُ لِيُبَيِّنَ لَكُمْ وَيَهْدِيَكُمْ سُنَنَ الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ وَيَتُوْبَ عَلَيْكُمْ … (الآية)

Allah hendak menerangkan (hukum syari’at-Nya) kepadamu, dan menunjukkan kamu kepada jalan-jalan orang yang sebelum kamu (para nabi dan shalihin) dan (hendak) menerima taubatmu”. (Qs. al-Nisa’/4: 26).

Pengertian Sunnah secara bahasa juga dapat dipahami dari Hadis Nabi Saw, antara lain sebagai berikut:

  1. Jalan yang ditempuh, baik terpuji maupun tercela.

مَنْ سَنَّ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا إِلَى يَوْمَ الْقِيَامَةِ, وَمَنْ سَنَّ سُنَّةً سَيِّئَةً

فَعَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ.

Barang siapa menempuh suatu sunnah (jalan) yang baik, maka dia mendapatkan pahalanya ditambah pahala orang yang mengerkannya hingga hari kiamat. Dan barang siapa yang menempuh suatu sunnah (jalan) yang buruk, maka dia akan mendapatkan dosanya ditambah dosa orang yang mengerjakannya hingga hari kiamat”. (HR. al-Bukhari & Muslim).

  1. Suatu tradisi yang sudah dibiasakan sekalipun tidak baik.

لَتَتَّبِعَنَّ سُنَنَ مَنْ قَبْلَكُمْ شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ حَتىَّ لَوْ دَخَلُوْا حِجْرَ الضَّبِّ لَدَخَلْتُمُوْهُ.

Sungguh kamu akan mengikuti sunnah-sunnah (tradisi-tradisi) orang sebelum kamu, sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta, sehingga sekiranya mereka masuk liang biawak, kamu masuk ke dalamnya juga”. (HR. Muslim).

Dalam literatur Arab, terutama dalam buku-buku Hadis dan fiqh klasik (masa awal Islam), kata Sunnah selalu dipakai  dalam pengertian yang berbeda. Seperti dalam syari’ah (hukum Islam), kata Sunnah bermakna suatu praktek religius yang tidak diwajibkan, hanya sebatas dianjurkan. Pengertian ini juga menunjuk kepada Sunnah dalam pengertian sebagai salah satu sumber hukum yang empat, selain al-Qur’an, ijma’ dan qiyâs. Dalam kaitan ini, maka Sunnah berarti apa yang diperintahkan, yang dilarang, dan yang disunatkan oleh Nabi Saw, baik berupa perkataan maupun perbuatan. Sedangkan dalam t}arîqat al-dîn kata Sunnah memiliki makna “perilaku keteladanan Nabi Saw”.

Menurut istilah (terminologi), para ulama juga berbeda-beda dalam memberikan definisi terhadap Sunnah, yaitu:

  1. Menurut ulama ahli Hadis (muh}addis|ûn), Sunnah adalah “segala apa yang menjadi peninggalan Nabi Saw berupa perkataan, perbuatan, ketetapan, sifat (watak budi atau fisik), atau tingkah laku Nabi Saw, baik sebelum masa kenabian maupun sesudahnya”. Dalam hal ini, menurut mayoritas ulama, Sunnah merupakan sinonim dari Hadis.
  2. Menurut  ulama ahli hukum (us}ul fiqh), Sunnah adalah “segala perkataan yang disandarkan kepada Nabi Saw selain al-Qur’an, perbuatan, atau ketetapan beliau yang dapat dijadikan sebagai dalil hukum syara’.
  3. Menurut ahli fiqh (fuqahâ’), Sunnah adalah “segala sesuatu yang ditetapkan Nabi Saw yang belum sampai pada tingkatan fard}u atau wajib”.[17]

Berdasarkan beberapa definisi di atas tampak bahwa ulama ahli Hadis dan ulama ushul (ahli hukum) tidak membedakan antara Hadis dan Sunnah.  Dengan kata lain, Hadis dan Sunnah merupakan sinonim. Namun demikian, ada beberapa ahli yang secara tegas membedakan keduanya, antara lain:

  • Dr. Yusuf Musa, seorang Guru Besar pada Universitas Kairo, mengatakan bahwa: “Sunnah ialah apa yang keluar dari Nabi Saw, baik berupa perkataan, perbuatan, maupun ketetapan; sedangkan Hadis ialah apa yang keluar dari Nabi Saw berupa perkataan saja”.
  • Ibn al-Kamal berpendapat, bahwa “Sunnah ialah sesuatu yang dinukil dari Nabi Saw Muhammad saw., baik berupa perbuatan ataupun sabdanya; sedangkan Hadis ialah khusus sabdanya saja”.
  • Dr. Taufiq dalam kitabnya Din Allah Swt  fi Kutub Anbiyâ’ih menjelaskan sebagai berikut: “Sunnah ialah suatu jalan yang dilakukan/dipraktekkan oleh Nabi Saw secara kontinyu dan diikuti oleh para sahabatnya; sedangkan Hadis ialah ucapan-ucapan Nabi Saw yang diriwayatkan oleh seorang, dua atau tiga orang perawi dan tidak ada yang mengetahui ucapan-ucapan tersebut selain mereka sendiri”.[18]
  • Hasbi ash-Shiddieqy secara tegas juga menyatakan bahwa Hadis dan Sunnah tidak identik. Ia berpendapat bahwa “Hadis merupakan sesuatu urusan yang bersifat teori, sedangkan Sunnah merupakan sesuatu urusan yang dipraktekkan bersama”.[19]

Ungkapan “Sunnah Nabi Saw” mulai dikenal ketika Allah Swt menyuruh orang Muslim untuk mentaati Nabi Saw dan menjadikan perjalanan hidup beliau sebagai teladan terbaik yang harus diikuti. Artikel definit Arab alif dan lâm ( ال ) terkadang diimbuhkan ke dalam kata Sunnah, sehingga menjadi al-Sunnah, untuk menunjukkan Sunnah Nabi Saw tersebut. Tetapi di penghujung abad ke-2 H, kata Sunnah mulai dipakai nyaris hanya terbatas untuk norma yang dicetuskan oleh Nabi Saw, atau norma yang disimpulkan dari ketentuan yang telah digariskan oleh Nabi Saw.[20]

Sehubungan dengan penggunaan konsep Sunnah, Abul Baqa’ mengatakan bahwa istilah tersebut tidak hanya dibatasi pada Sunnah (kebiasaan) Nabi Saw atau sahabatnya. Pendapat serupa disampaikan oleh Muhammad Mustafa ‘Azami. Ini berbeda dengan penggunaan istilah Sunnah dalam madzhab Syafi’i yang hanya dibatasi pada Sunnah Nabi Saw semata.[21] Sejalan dengan pendapat Abul Baqa’ dan ‘Azami, Fazlur Rahman menyatakan bahwa konsep Sunnah sesudah Nabi Saw wafat juga mencakup penafsiran-penafsiran terhadap Sunnah Nabi Saw tersebut. Lebih jauh Rahman berpendapat bahwa konsep Sunnah pada dasarnya mengandung tiga kategori isi, yaitu:[22]

  1. Sunnah yang paling awal sebagai hasil pemahaman Nabi Saw terhadap pesan atau wahyu Allah Swt   dan teladan beliau melaksanakannya.
  2. Sunnah yang hidup dari generasi awal (sahabat) sebagai hasil peneladanan terhadap Sunnah Nabi Saw.
  3. Kesimpulan-kesimpulan yang ditarik dari kategori isi Sunnah yang pertama dan kedua melalui penafsiran-penafsiran yang bersifat individual, di mana dari penafsiran yang bersifat individual itu kemudian melahirkan Sunnah yang telah disapakati (ijmâ’).

Bertolak dari definisi-definisi Hadis dan Sunnah di atas dapat dipahami, bahwa kedua istilah tersebut memiliki hubungan yang sangat erat. Keduanya mempunyai garis kontinuitas yang tidak terputus, karena yang satu terkait dengan yang lainnya, dan keduanya sama-sama dapat diketahui melalui riwayat. Meskipun demikian mempersamakan keduanya adalah suatu hal yang tidak mungkin.

Sunnah memiliki makna yang lebih menekankan pada teladan kehidupan, sehingga Sunnah Nabi Saw berarti teladan kehidupan beliau. Sementara Hadis, sebagaimana telah diuraikan di muka, mempunyai arti segala sesuatu yang dinisbahkan kepada kehidupan Nabi Saw. Oleh karena itulah kedua istilah tersebut sering dipakai secara bergantian, walaupun antara keduanya ada sedikit perbedaan. Sebuah Hadis mungkin tidak mencakup Sunnah, atau sebuah Hadis bisa jadi merangkum lebih dari sebuah Sunnah.[23] Hal ini dapat terjadi karena Hadis pada hakekatnya adalah rangkuman atau bentuk reportase (penuturan) dari teladan kehidupan Nabi Saw, praktek yang hidup pada masa sahabat, dan kesimpulan-kesimpulan individual yang telah disepakati sebagai hasil penafsiran terhadap Sunnah Nabi Saw dan praktek para sahabat. Jadi, perbedaan utama antara Sunnah dan Hadis adalah: jika yang pertama merupakan suatu proses yang hidup dan berkelanjutan, maka yang kedua bersifat formal dan berusaha memberikan kepermanenan yang mutlak kepada sintesa dari Sunnah yang hidup pada abad kesatu, kedua, dan ketiga Hijriyah.[24]

Berdasarkan uraian di atas, maka hubungan antara Hadis dan Sunnah dapat digambarkan dalam diagram berikut:[25]

Dari diagram tersebut dapat dipahami bahwa perilaku Nabi Saw sebagai hasil pemahaman beliau terhadap wahyu Allah Swt merupakan teladan terbaik yang menjadi perhatian para sahabat. Mereka berusaha mempraktekkan apa yang diteladani dari Nabi Saw itu dalam kehidupan sehari-hari. Sepeninggal Nabi Saw, kemudian berkembanglah penafsiran individual terhadap teladan Nabi Saw itu. Dalam keadaan demikian, maka sangat mungkin terjadi perbedaan dalam memandang perilaku Nabi Saw, apakah perilaku Nabi Saw tertentu dipandang sebagai Sunnah atau bukan. Perbedaan ini boleh jadi terjadi di dalam satu daerah, atau antar daerah. Misalnya Madinah dan Kuffah. Namun demikian, secara berangsur-angsur berkembang secara demokratis Sunnah yang disepakati di seluruh daerah kekuasaan kaum Muslimin. Karena itulah, salah satu kategori isi Sunnah tidak lain adalah opinio publica (ijmâ’).

Ketika gerakan penulisan Hadis dilaksanakan pada paruh kedua abad ke-2 Hijriyah, Sunnah yang telah disepakati banyak orang itu diekspresikan dalam bentuk verbal. Sehingga, dengan demikian, Hadis merupakan verbalisasi Sunnah. Sayangnya, verbalisasi Sunnah ke dalam Hadis ini telah memasung proses kreatif Sunnah dan menjerat para ulama pada rumus-rumus yang kaku. Sebab, Sunnah pada dasarnya merupakan proses kreatif yang terus menerus, sementara Hadis adalah pembakuan yang kaku terhadap proses itu. Sebagai akibatnya, ketika gerakan Hadis unggul, maka ijma’ (yang merupakan opinio publica) dan ijtihâd (yang merupakan proses interpretasi umat terhadap ajaran Islam) menjadi terpinggirkan.[26]

IV. HADIS NABAWI, HADIS QUDSI DAN AL-QUR’AN

            Ketiga istilah ini merupakan istilah-istilah teknis yang membedakan satu dari yang lain. Penjelasan mengenai istilah-istilah tersebut kiranya perlu diberikan agar tidak terjadi kerancuan dalam memahaminya. Sebab, informasi ketiga hal itu sumbernya sama, yaitu Nabi Saw. Lalu di mana letak perbedaannya masing-masing?

Seluruh uraian yang telah dikemukakan sebelumnya secara umum berbicara tentang Hadis nabawi. Ketika disebut kata Hadis, maka ia identik dengan Hadis nabawi. Jadi, istilah Hadis nabawi mempunyai pengertian yang sama dengan istilah Hadis, yaitu segala sesuatu yang dinisbahkan kepada Nabi Saw., baik berupa perkataan, perilaku, persetujuan beliau akan tindakan sahabat, atau deskripsi tentang sifat dan karakternya. Muatan materi Hadis nabawi seluruhnya berasal dari Nabi Saw, baik maknanya maupun susunan redaksionalnya.

Hal tersebut berbeda dengan Hadis qudsi. Secara bahasa, qudsi berarti “suci”. Pelabelan kata qudsi pada kata Hadis dimaksudkan untuk menisbatkan Hadis tersebut kepada Allah Swt. Sebab, Hadis qudsi adalah suatu ungkapan atau pernyataan Nabi Saw yang disandarkan kepada Allah Swt selain al-Qur’an. Karena itu, Hadis qudsi disebut juga dengan Hadis ilâhi  atau Hadis rabbani.[27] Sebagai contoh, Hadis yang berbunyi:

قَالَ اللهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى: يَا عِبَادِىْ إِنِّى حَرَّمْتُ الْظُلْمَ عَلَى نَفْسِى وَجَعَلْتُهُ مُحَرَّمًا

عَلَيْكُمْ فَلاَ‍ تَظَالمَوُاْ ….. [الحديث]

Allah Swt berfirman: wahai hamba-Ku, sesungguhnya Aku telah mengharamkan kedholiman atas diri-Ku, dan Aku menjadikannya haram atas kamu sekalian. Oleh karena itu janganlah kalian semua saling berbuat dholim”. (al-Hadis).

Ada dua pendapat mengenai hakekat Hadis qudsi. Pertama, bahwa Hadis qudsi adalah firman Allah Swt, bukan perkataan Nabi Saw. Kedua, bahwa Hadis qudsi merupakan perkataan Nabi Saw dari sisi redaksinya, tetapi maknanya berasal dari Allah Swt melalui ilham atau mimpi.[28] Pendapat yang terakhir inilah yang lebih kuat. Jadi, Hadis qudsi adalah Hadis yang lafadznya (redaksinya) dari Nabi Saw, sedangkan isinya/maknanya dari Allah Swt yang disampaikan melalui mimpi atau ilham. Sedangkan ungkapannya mengandung kalimat “Allah Swt berfirman: …..”, atau ucapan seorang sahabat bahwa “Nabi Saw menyampaikan riwayat dari Allah Swt demikian: ….”. Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa ia dinamakan Hadis karena redaksinya berasal dari Nabi Saw, sedangkan sifat qudsi yang dilabelkan kepadanya adalah untuk menunjukkan bahwa makna yang disampaikan Nabi Saw itu berasal dari Allah Swt.

V. KE-H}UJJAH-AN HADIS / SUNNAH

Para ulama sepakat bahwa al-Qur’an menempati kedudukan tertinggi atas semua orang Muslim. Sedangkan Hadis atau Sunnah menempati kedudukan kedua setelah al-Qur’an. Meskipun demikian, al-Qur’an tidak pernah menyatakan bahwa sumber dasar hukum kedua adalah Hadis atau Sunnah.[29] Hanya saja, al-Qur’an selalu menyinggung tentang kepatuhan terhadap Rasulullah saw, bahkan ini merupakan suatu kewajiban. Ia juga menegaskan kewajiban mengikuti segala perilaku beliau. Dengan demikian, sumber hukum Islam kedua bukanlah istilah khusus tersebut, tetapi konsep yang menelurkan kewenangannya secara langsung dari al-Qur’an.[30]

Sehubungan dengan hal tersebut, Allah Swt telah menjelaskan kedudukan Nabi Saw sebagai berikut:

  1. 1.      Sebagai pen-syarah} al-Qur’an.

Kedudukan Nabi Saw sebagai pen-syarah} (penafsir) al-Qur’an ini antara lain diungkapkan oleh Allah Swt  dalam firman-Nya:

وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُوْنَ.

Kami telah menurunkan al-Qur’an kepadamu, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkannya”. (Qs. al-Nahl/16: 44).

Berkaitan dengan ayat di atas, banyak kasus hukum maupun praktek ibadah yang sangat bergantung kepada penafsiran Nabi Saw. Misalnya, al-Qur’an mewajibkan shalat dalam sejumlah ayat, tetapi ia tidak menerangkan secara rinci bentuk dan tata cara mengerjakannya. Dalam kaitan ini, maka tugas Nabi Saw adalah mendemonstrasikan praktek shalat beserta bacaan-bacaannya.

  1. 2.      Sebagai pembuat hukum (legislator).

Kekuatan legislatif Nabi Saw untuk menetapkan hukum diterangkan oleh Allah Swt dalam ayat berikut ini:

وَيَحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبَاتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَائِثَ وَيَضَعُ عَنْهُمْ إِصْرَهُمْ … (الآية)

Nabi Saw menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari beban yang melilit mereka (Qs. al-A’raf/7: 157).

Dalam ayat tersebut dijelaskan bahwa Nabi Saw diberikan hak legislatif  untuk menentukan hukum bagi masyarakat mengenai perkara yang halal dan yang haram. Nabi Saw mengindentifikasikan masalah tertentu yang nantinya dikomentari oleh al-Qur’an, sebagai praktek komunitas yang disepakati. Seperti praktek adzan yang kemudian diakui keberadaannya oleh al-Qur’an sebagai praktek yang ada. Contoh ini membuktikan kewenangan legislatif Nabi Saw dan tindakan ini telah dikuatkan oleh Allah Swt.

  1. 3.      Sebagai teladan kaum Muslimin

Mengenai hal ini dijelaskan oleh Allah Swt   dalam salah satu ayat al-Qur’an sebagai berikut:

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِى رَسُوْلِ اللهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُوا اللهَ وَالْيَوْمَ اْلآخِرَ

وَذَكَرَ اللهَ كَثِيْرًا.

Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mendambakan rahmat Allah Swt   dan kedatangan hari kiamat dan dia selalu menyebut Allah”. (Qs.al-Ahzab/ 33: 21).

Ketika Nabi Saw dipandang sebagai teladan bagi kaum Muslimin, maka mereka mesti meneladaninya dalam segala hal, khususnya dalam hal yang diwajibkan oleh Allah Swt  .

Ketiga masalah pokok di atas menunjukkan keberadaan Nabi Saw terhadap kaum Muslimin. Hal mengantarkan kepada suatu kesimpulan yang tidak dapat ditolak bahwa masyarakat Muslim harus mengikuti segala gerak-gerik kehidupan Nabi Saw. Allah Swt  tidak membiarkan satu masalah pun untuk diperdebatkan. Dia secara eksplisit menyuruh kaum Muslimin untuk mentaati Nabi-Nya secara total.

  1. 4.      Wajib dipatuhi oleh seluruh kaum Muslimin

Firman Allah Swt  dalam al-Qur’an:

وَمَآ أَرْسَلْنَا مِنْ رَّسُوْلٍ إِلاَّ لِيُطَاعَ بِإِذْنِ اللهِ.

Dan Kami tidak mengutus seorang rasul, melainkan untuk ditaati dengan segala seijin Allah”. (Qs. al-Nisa’/4: 64).

Lebih jauh Allah Swt  menegaskan:

قُلْ أَطِيْعُوْا اللهَ وَالرَّسُوْلَ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّ اللهَ لاَ يُحِبُّ الْكَافِرِيْنَ.

Katakanlah: taatilah Allah dan Rasul-Nya (Muhammad Saw); jika kalian berpaling, (dari Allah Swt  dan Rasul-Nya)      maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir”. (Qs. Ali ‘Imran/3: 32).

Dalam ayat lain Allah Swt  berfirman:

وَأَطِيْعُوْا اللهَ وَالرَّسُوْلَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُوْنَ.

Dan taatilah Allah dan Rasul-Nya, semoga kamu mendapatkan rahmat”. (Qs. ِAli ‘Imran/3: 132).

Selanjutnya Allah Swt  menegaskan dalam ayat yang lain:

يَآاَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا أَطِعُوْا اللهَ وَأَطِيْعُوْا الرَّسُوْلَ وَأُولِى اْلاَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِى شَىْءٍ

 فَرُدُّوْهُ إِلىَ اللهَ وَالرَّسُوْلِ اِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُوْنَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيْلاً.

Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah Swt  dan Rasul-Nya, serta ulul amri (para penguasa) kamu. Apabila kamu berbeda pendapat dalam suatu masalah, maka kembalikanlah hal tersebut kepada Allah Swt  dan Rasul-Nya, jika kamu betul-betul beriman kepada Allah Swt  dan hari kiamat. Hal itu lebih baik dan lebih adil akibatnya”. (Qs. al-Nisa’/4: 59).

Berdasarkan ayat-ayat di atas jelaslah bahwa perintah Allah, sebagaimana perintah Nabi Saw yang telah dibuktikan kebenarannya, adalah mengikat aktivitas setiap Muslim. Seorang Muslim harus mentaati keduanya (Allah Swt  dan Rasul-Nya) tanpa diperbolehkan memilah-milah. Seluruh hidup Nabi Saw adalah teladan yang paling baik untuk semua Muslim dan pantas untuk diikuti. Seorang Muslim hendaknya tidak menaruh kebencian dalam menunaikan perintah-perintah yang disampaikan oleh Nabi Saw. Ketundukan di sini dimaksudkan sebagai ketundukan secara total, bukan ketundukan setengah hati. Allah Swt berfirman:

فَلاَ وَرَبِّكَ لاَ يُؤْمِنُوْنَ حَتىَّ يُحَكِّمُوْكَ فِيْمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لاَ يَجِدُوْا فِى أَنْفُسِهِمْ

حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا.

Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya”. (Qs. al-Nisa’/4: 65).

Allah Swt juga berfirman:

وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُوْلُ فَخُذُوْهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَنْتَهُوْا وَاتَّقُوْا اللهَ إِنَّ اللهَ شَدِيْدُ الْعِقَابِ.

Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah ia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah; dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman -Nya”. (Qs. al-Hasyr/59: 7).

Demikianlah, sejumlah ayat al-Qur’an yang telah dikemukakan di atas menetapkan kedudukan Nabi Saw dan menguatkan fakta bahwa seluruh kehidupan beliau, ketetapan, keputusan, dan perintahnya adalah mengikat dan mesti diikuti dan diteladani dalam segala kondisi kehidupan kaum Muslimin, baik secara individual maupun kolektif sebagai masyarakat Muslim.

Bertolak dari ayat-ayat di atas menjadi jelas bahwa kedudukan Nabi Saw yang luhur tersebut tidak bergantung pada penerimaan masyarakat, opini ahli hukum, pakar tertentu, atau pendiri aliran hukum yang lain. Sebaliknya, keberadaan otoritas ini merupakan legitimasi langsung dari wahyu al-Qur’an. Itulah sebabnya kaum Muslimin menerima kewenangan Nabi Saw sejak misi kenabian dimulai hingga sekarang, dan menerima seluruh aktivitas dan perintah Nabi Saw, baik yang bersifat verbal, tindakan, maupun persetujuan beliau sebagai jalan hidup, faktor pengikat dan teladan terbaik yang harus diikuti. Dalam konteks inilah Hadis / Sunnah menempati kedudukan penting sebagai sumber hukum Islam kedua setelah al-Qur’an.

Seorang Muslim tidak bisa hanya memakai al-Qur’an saja dan meninggalkan Sunnah. Sebab, di samping hal itu tidak mungkin, juga tidak dibenarkan menurut ketentuan syari’ah. Oleh karena itu, Imam Syafi’i mengatakan bahwa setiap orang yang menerima hukum-hukum yang diwajibkan oleh Allah, maka berarti ia menerima Sunnah-sunnah Rasul-Nya serta menerima hukum-hukumnya. Demikian juga sebaliknya, orang yang menerima Sunnah-Sunnah Rasul, berarti ia menerima perintah-perintah Allah.[31]

Berdasarkan ayat-ayat di atas juga dapat dipahami, bahwa wajibnya taat kepada Rasulullah Saw pada dasarnya lebih karena taat kepada Allah disyaratkan taat kepada Rasulullah. Jadi, taat kepada Allah yang tidak dibarengi dengan taat kepada Rasul-Nya, maka ketaatan itu tidak sah. Setelah Nabi Saw wafat, ketaatan kepadanya diwujudkan dengan cara menerima dan mengikuti Sunnah-sunnahnya. Oleh karena itu, kaum Muslimin sejak periode-periode awal telah sepakat untuk menerima dan menggunakan Sunnah-sunnah Nabi Saw sebagai dasar tindakan dan perilaku mereka.

Sebagai contoh, Qabisah ibn Dzu’aib menuturkan bahwa ketika Abu Bakar didatangi seorang nenek yang menanyakan bagian warisnya, beliau menjawab: “Dalam Kitabullah tidak terdapat bagian untukmu, dan sepengetahuan saya dalam Sunnah Nabi Saw juga tidak ada. Silahkan kemari lagi esok lusa, saya akan menanyakan masalah itu dahulu kepada orang-orang”. Lalu beliau menanyakan hal itu kepada orang-orang. Di antara yang menjawab adalah al-Mughirah ibn Syu’bah, katanya: “Saya pernah menghadap Rasulullah Saw, beliau menentukan bagian seperenam untuk nenek”. Tanya Abu Bakar, “Apakah ketika menghadap Rasulullah Saw kamu bersama orang lain?”. Maka Muhammad ibn Maslamah al-Anshari bangkit dari duduknya dan berkata seperti yang dikatakan oleh al-Mughirah. Akhirnya Abu Bakar menetapkan bagian seperenam untuk nenek.[32]

Jawaban Abu Bakar berupa kalimat “…..dan sepengetahuan saya dalam Sunnah Rasul juga tidak ada”, dan penetapannya seperenam bagian untuk nenek setelah mengetahui Sunnah Nabi Saw dari al-Mughirah dan Muhammad ibn Maslamah  membuktikan bahwa Abu Bakar menggunakan Sunnah sebagai dalil atau h}ujjah.

Demikian pula Umar ibn al-Khaththab. Beberapa hari sebelum wafat, Umar dalam pidatonya mengatakan, antara lain: “Wahai Allah, saya bersaksi kepada-Mu atas penguasa-penguasa di daerah, bahwa saya mengangkat mereka agar mereka mengajarkan agama (Islam) dan Sunnah Nabi Saw kepada para penduduk, dan agar mereka membagi-bagikan rampasan perang dengan adil. Jika ada yang mendapatkan problem hendaklah ia melaporkannya kepada saya …..”.

Umar juga dikenal sebagai khalifah yang aktif mengontrol bawahannya, baik secara langsung maupun melalui surat. Salah satunya adalah surat yang dikirimkan kepada Hakim Syuraih. Dalam surat tersebut disebutkan keterangan tentang hujjiyat Sunnah (kehujjahan Sunnah; Sunnah dapat digunakan sebagai dalil atau sumber hukum), dan bahwa Sunnah dapat dijadikan rujukan untuk memutuskan perselisihan antar manusia.[33]

Dua kasus yang terjadi pada masa Abu Bakar dan Umar tersebut kiranya cukup menjadi bukti, bahwa Sunnah Nabi Saw telah diterima dan dilaksanakan sejak masa sahabat, dan berlangsung terus hingga masa-masa berikutnya sampai sekarang. Hal ini tentunya didasarkan pada keyakinan setiap kaum Muslimin bahwa Sunnah Nabi Saw merupakan hukum yang bersifat mengikat,  di samping al-Qur’an, sehingga harus diikuti dan dipatuhi.

SUMBER TULISAN

 

 

‘Azami, Muhammad Mustafa. Metodologi Kritik Hadis. terj. A. Yamin. Bandung: Pustaka Hidayah, 1996.

_______. Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya. terj. Ali Mustafa Yaqub Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994.

Al-Baqi, Muhammad Fu’at Abd. al-Mu’jam al-Mufahras li Alfâz} al-Qur’an al-Karîm. Indonesia: Maktabah Dahlan, tt.

Hasyim, Ahmad Umar. Qawâ‘id al-Us}ûl al-H}adîs|. Beirut: Dât al-Kitab al-‘Araby, 1983.

al-Khat}ib, Muhammad ‘Ajaj. Us}ûl al-H}adîs|: ‘Ulûmuh wa Mus}t}alah}uh. Beirut: Dâr al-Fikr, 1989.

Rahman, Fazlur. Membuka Pintu Ijtihad. terj. Anas Mahyuddin. Bandung: Penerbit Pustaka, 1995.

Rakhmat, Jalaluddin. “Dari Sunnah ke Hadis atau Sebaliknya?”. dalam Budhy Munawar-Rachman (ed.). Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah.Jakarta: Paramadina, 1995.

al-S}âlih}, S}ubh}i. ‘Ulûm al-H}adîs} wa Mus}t}alah}uh.Beirut: Dâr al-‘Ilm li al-Malâyîn, 1988.

Ash-Shiddieqy, M. Hasbi. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis.Jakarta: Bulan Bintang, 1987.

al-Zafzaf, Muhammad. al-Ta’rîf bi al-Qur’an wa al-Hadîs}, JilidI. tt.: tp., tt.

Zuhdi, Masjfuk. Pengantar Ilmu Hadis. Suarabaya: Bina Ilmu, 1993.


[1] Muhammad Mustafa ‘Azami, Metodologi Kritik Hadis, terj. A. Yamin (Bandung: Pustaka Hidayah, 1996), hlm. 17.

[2] Muhammad Fu’at Abdul Baqi , al-Mu’jam al-Mufahras li Alfâz} al-Qur’an al-Karîm (Indonesia: Maktabah Dahlan, tt.), hlm. 247-8.

[3] M. Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis (Jakarta: Bukan Bintang, 1987), hlm. 20.

[4] Ibid., hlm. 21.

[5] Ibid.

[6] Muhammad ‘Ajaj al-Khat}ib, Us}ûl al-H}adîs|: ‘Ulûmuh wa Mus}t}alah}uh (Beirut: Dâr al-Fikr, 1989), hlm. 26-27.

[7] ‘Azami, Metodologi….., hlm. 19.

[8] Ahmad Umar Hasyim, Qawâ‘id al-Us}ûl al-H}adîs| (Beirut: Dâr al-Kitâb al-‘Araby, 1983), hlm. 30.

[9] Ash Shiddieqy, Sejarah….., hlm. 23.

[10] Ibid.

[11] ‘Azami, Metodologi…..,hlm. 19.

[12] Muhammad al-Zafzaf, al-Ta’rîf bi al-Qur’an wa al-Hadîs|, Jilid I. (tt.: tp., tt), hlm. 195.

[13] S}ubh}i al-S}âlih}, ‘Ulûm al-H}adîs} wa Mus}t}alah}uh (Beirut: Dâr al-‘Ilm li al-Malâyîn, 1988), hlm. 3-4.

[14] ‘Azami, Metodologi….., hlm. 20.

[15] Sebagaimana dikutip M. M. Azami, Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, terj. Ali Mustafa Yaqub (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994), hlm. 13.

[16] Abdul Baqi, al-Mu’jam….., hl. 466.

[17] Al-Khat}îb, ‘Us}ûl al-H}adis|….., hlm. 18-19.

[18] Masjfuk Zuhdi, Pengantar Ilmu Hadis (Suarabaya: Bina Ilmu, 1993), hlm. 16-17.

[19] Ash Shiddieqy, Sejarah….., hlm. 404-409.

[20] ‘Azami, Metodologi…., hlm. 20-21.

[21] Lebih lanjut baca Ibid., hlm. 20-25.

[22] Selengkapnya baca Fazlur Rahman, Membuka Pintu Ijtihad, terj. Anas Mahyuddin (Bandung: Penerbit Pustaka, 1995), khususnya. 109-127.

[23] ‘Azami, Metodologi….., hlm. 21.

[24] Rahman, Membuka…..., hlm. 117.

[25] Diagram ini dimodifikasi dari Jalaluddin Rakhmat, “Dari Sunnah ke Hadis atau Sebaliknya?”, dalam Budhy Munawar-Rachman (ed.), Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah (Jakarta: Paramadina, 1995), 227.

[26] Ibid., hlm.227-228.

[27] S}ubh}i al-S}alih}, ‘Ulûm al-H}adîs|….., hlm. 11-13.

[28] Hasyim, Qawâ’id….., hlm. 31.

[29] ‘Azami, Metodologi….., hlm. 25.

[30] Ibid., hlm. 26.

[31] Azami, Hadis Nabawi ….., hlm. 32.

[32] Ibid., hlm. 33.

[33] Ibid., hlm. 34.

Leave a comment