ISLAM DAN KESELAMATAN AGAMA-AGAMA LAIN
A. Pandangan al-Qur’an terhadap Ahlul Kitab dan Non-Muslim
Kata Ahl dan al-Kitab, tampaknya yang paling sesuai pengertiannya secara bahasa, adalah orang-orang yang beragama sesuai dengan al-Kitab. Dengan ungkapan lain, mereka adalah para penganut atau pengikut al-Kitab. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa ahlul kitab adalah ahli yaitu orang-orang yang berpegang kepada kitab suci selain al-Qur’an. Sedangkan Ahlul Kitab menurut terminologi adalah “Pemilik Kitab Suci”, yakni para umat nabi yang diturunkan kepada mereka kitab suci (wahyu Allah)”. Di antara mereka adalah Kaum Yahudi dan Nasrani. Dinamakan ahlul kitab karena telah diberikan kepada mereka kitab suci oleh Allah SWT.
Dari pengertian secara etimologi maupun terminology dapat dipahami bahwa Ahlul Kitab atau ahlu kitab adalah kaum Yahudi dan Nasrani. Hal ini sebagaimana disebutkan oleh Imam al Baidhawi ketika menafsirkan Surat Al-Maidah:5, beliau mengatakan bahwa Ahlul Kitab mencakup orang-orang yang diberikan kepada mereka al-Kitab yaitu orang-orang Yahudi dan Nasrani. Thabataba’i ketika menafsirkan Surat al-‘Ankabut:46, ia mencatat bahwa Ahlul Kitab ialah umat Yahudi dan Nasrani.
Rasyid Ridha menetapkan bahwa Ahlul Kitab adalah suatu keyakinan yang mempunyai kitab suci dan atau mengikuti nabiyang dikenal, baik dalam tradisi agama Ibrahim maupun bukan. Walaupun didalam al-Qur’an tidak disebutkan secara eksplisit kaum Hindhu, Budha, Kong Hu Cu, dan Shinto tetap tidak menghalangi untuk menyatakan bahwa mereka adalah Ahlul Kitab. Lebih lanjut, Ridha menjelaskan tidak disebutkannya agama-agama tersebut didalam al-Qur’an karena Bangsa Arab belum pernah bepergian ke India, China, Jepang, sehinga tidak mengenal agama-agama tersebut. Karena audiens al-Qur’an saat itu adalah Bangsa Arab, agar dalam menyampaikan pesan tidak menimbulkan keasingan, maka hanya disebutkan kelompok-kelompok yang mereka kenal, seperti kaum shabi’ah dan Majusi yang hidup berdekatan dengan mereka di Irak dan Bahrain.
Terkait dengan Islam sendiri, Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha menolak memasukkan Islam ke dalam Ahlul Kitab, walaupun kriteria diatas layak unuk memasukkan Islam kedalamnya. Mereka beralasan bahwa Islam merupakan umat terbaik, dengan mengacu pada Surat Ali ‘Imran:110 , sehingga tidak perlu disebut dengan Ahlul Kitab. Jika Islam dimasukkan kedalam kelompok Ahlul Kitab maka tidak sesuai dengan kebiasaan al-Qur’an yang tidak pernah sekalipun menggunakan sebutan ahl al-Kitab untuk mereka.
B. Hubungan agama-agama dalam al-Qur’an
Sebagai risalah terakhir dalam rumpun agama-agama semitik, al-Qur’an yang diturunkan melalui Muhammad SAW hadir bukan hanya sebagai pedoman khusus untuk oran-orang Muslim saja, tetapi juga petunjuk bagi seluruh umat manusia. Oleh karena itu, sebagai risalah terakhir, al-Qur’an menegaskan posisinya diantara agama dan kitab-kitab terdahulu.Diantaranya penegasan bahwa al-Qur’an melalui Muhammad bertugas untuk membenarkan para rasul sebelumnya, seperti dalam Surat as-Shaffat:37 berikut:
Artinya: Sebenarnya dia (Muhammad) Telah datang membawa kebenaran dan membenarkan rasul-rasul (sebelumnya). (QS. As-Shaffat: 37)
Pengakuan al-Qur’an atas eksistensi agama-agamalaintidak cukup sampai disitu. Dalam ayat lain disebutkan tentang kewajiban mengimani rasul-rasul dan kitab-kitab suciterdahulu:
Artinya: Rasul Telah beriman kepada Al Quran yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan rasul-rasul-Nya. (mereka mengatakan): “Kami tidak membeda-bedakan antara seseorangpun (dengan yang lain) dari rasul-rasul-Nya”, dan mereka mengatakan: “Kami dengar dan kami taat.” (mereka berdoa): “Ampunilah kami Ya Tuhan kami dan kepada Engkaulah tempat kembali. (QS. Al-Baqarah:285)
Secara historis, Islam, Yahudi, dan Kristen memiliki titik kesamaan, yaitu sebagai agama kedamaian yang berpedoman kepasrahan kepada Tuhan. Bahkan ketiga agama Samawi tersebut sering disebut sebagai saudara, satu keluarga beda ibu. Disebut demikian karena risalah yang diwariskan nabi-nabi terdahulu seperti Nuh, Ibrahim, Musa, dan Isa terus-menerus hingga sampailah kepada Muhammad sebagai penerusnya. Peran al-Qur’an disini sebagai penerus untuk menegakkan agama dan melarang untuk saling mempertentangkan kebenarannya. Seperti disebutkan dalam ayat al-Qur’an berikut ini:
Artinya: Dia Telah mensyari’atkan bagi kamu tentang agama apa yang Telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang Telah kami wahyukan kepadamu dan apa yang Telah kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. amat berat bagi orang-orang musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya. Allah menarik kepada agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada (agama)-Nya orang yang kembali (kepada-Nya). (QS. Asy-Syura:13)
Respon inklusif al-Qur’an diatas merupakan cerminan dari sikap paralel dalam menerima kehadiran agama lain, juga pengakuan al-Qur’an terhadap eksistensi komunitas lainsebagai sosio-religius yang sah, pengakuan spiritualitas, norma hukum, dan sosial keagamaan. Dapat dikatakan bahwa dalam ayat-ayat al-Qur’an yang telah dipaparkan diatas menggambarkan adanya kesinambungan risalah Tuhan melalui nabi-nabi dan kitab-kitabnya.Islam yang datang kemudian bukan agama ‘murni’, akan tetapi tetap mengakomodir ajaran agama terdahulu yang sesuai dengan pesan-pesan Tuhan, sehingga menjadi pelengkap ajaran yang belum tercoverpendahulunya, atau bisa juga meluruskan ajaran-ajaran sebelumnya.
Ketiga agama semitik (Yahudi, Nasrani, dan Islam) tersebut masih dalam satu induk yang bermuara pada Nabi Ibrahim as, sehingga secara prinsipil ketiga agama Ibrahim tersebut dapat menjalin sebuah ikatan emosional yang kokoh. Pernyataan tersebut mendapat dukungan dari Said Aqil Siradj. Menurutnya, dari sisi persaudaraan, kekerabatan, dan persahabatan, Islam dan Kristen sebenarnya masih satu trah dari Ibrahim. Menurutnya, agama Kristen lahir sebagai agama samawi melalui Nabi Isa, sedangkan Islam melalui jalur Nabi Muhammad SAW. Dua tokoh induk ini akan bertemu pada sosok Ibrahim, apabila ditelusuri silsilahnya, yaitu Nabi Isa adalah keturunan Nabi Ishaq, salah seorang putera Nabi Ibrahim, yang kemudian menurunkan Bani Israil (Bangsa Yahudi, putra-putri Ya’qub). Sementara Nabi Muhammad adalah keturunan Ismail, saudara seayah dengan Ishaq, yang kemudian menurunkan bangsa Arab.
Wahyu yang diterima oleh Muhammad merupakan kontinuitas dari wahyu-wahyu yang diturunkan kepada nabi-nabi sebelumnya. Termasuk isi atau inti wahyu yang terkandung dalam al-Qur’an secara umum merupakan pembenar (mushaddiq) bagi kitab-kitab suci terdahulu seperti Taurat dan Injil. Oleh karena itu, kontinuitas agama-agama dari Adam hingga Nabi Muhammad disebut dengan Islam. Islam disini bukan sebagai sebuah institusi, akan tetapi berarti kepasrahan total kepada Tuhan. Bentuk penghambaan makhluk secara maksimal kepada Tuhannya.
C. Keselamatan Agama-Agama Non-Muslim
Berikut ayat al-Qur’an yang berkaitan dengan keselamatan non-Muslim yang penulis temukan. Berikut penulis paparkan ayat-ayat tersebut beserta penjelasannya:
Artinya: Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja diantara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari Kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran kepada mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (QS. Al-Baqarah: 62)
Ayat diatas turun berkaitan dengan salah seorang sahabat Nabi, yaitu Salman al-Farisi. Salman al-Farisi bertanya kepada Nabi SAW mengenai orang-orang terdahulu yang belum memeluk Islam, semula Nabi SAW menjawab dengan jawaban yang membuat Salman bersedih. Kemudian turunlah ayat tersebut, sehingga membuat perasaan Salman al-Farisi sedikit lega. Jadi, ayat tersebut turun berkaitan dengan umat-umat terdahulu yang telah meninggal sebelum risalah Islam datang, dan akhirnya Nabi menyiratkansikap inklusif terhadap mereka.
Muhammad Abduh dalam menafsirkan ayat diatas menyatakan bahwa ayat tersebut menjelaskan sunnatullah yang berlaku bagi seluruh umat beragama yang hidup di masa lalu, sekarang, dan yang akan datang.Rasyid ridha terkait ayat tersebut menjelaskan bahwa agama-agama selain Islam akan mendapatkan balasan surga di akhirat kelak. Lebih jauh, agama-agama selain Islam diberikan jaminan keselamatan serta mempunyai kedudukan yang sama dengan Islam, yaitu mendapat ganjaran di akhirat kelak. Mereka juga bisa mendapat pahala dari Allah, dengan catatan memenuhi 3 unsur: beriman kepada Allah, percaya akan datangnya hari kiamat, dan konsisten dengan keshalehan.
Akan tetapi, ada anggapan yang menganggap bahwa Surat al-Baqarah: 62 diatas dianulir oleh Surat Ali Imran:85, sehingga menilai ayat al-Baqarah tersebut bukan yang diberlakukan, tetapi surat ali Imran:85. Sebenarnya ayat tersebut bukan berkaitan dengan hukum, tetapi terkait dengan berita atau informasi. Sedangkan syarat adanya naskh al-Qur’an adalah jika ayat-ayatnya berkaitan dengan hukum.
Selain itu, ada pandangan menarik dari Buya Hamka seputar polemik penganuliran ayat al-Qur’an tersebut. Menurut Buya Hamka, justru Surat Ali Imran: 85 menjadi penguat bagi Surat al-Baqarah: 62. Sebab, hakikat beragama adalah percaya kepada Allah dan hari akhir, serta beramal shalih.Hamka mengingatkan pesan utama al-Baqarah: 62 ini adalah adanya petunjuk kepada masing-masing umat beragama untuk saling memupuk perdamaian, dengan hidup saling berdampingan. Selain itu, Wahbah Zuhaili berpendapat bahwa setiap orang yang beriman kepada Allah, hari akhir, dan beramal saleh, serta memegang teguh agamanya mereka termasuk orang-orang yang beruntung. Bahkan dalam surat al-Hajj: 17 memasukkan agama Majusi sebagai agama yang mendapatkan jaminan keselamatan. Berikut bunyi ayat tersebut:
Artinya: Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang Yahudi, orang-orang Shaabi-iin orang-orang Nasrani, orang-orang Majusi dan orang-orang musyrik, Allah akan memberi Keputusan di antara mereka pada hari kiamat. Sesungguhnya Allah menyaksikan segala sesuatu. (QS. Al-Hajj: 17)
Ibn katsir menjelaskan bahwa keputusan Allah terhadap semua kelompok agama tersebut tidak membeda-bedakan latar belakang keyakinannya, dan mereka akan diberi imbalan dengan seadil-adilnya. Mereka yang beriman akan mendapatkan balasan surga, dan yang mengingkarinyaakan dimasukkan ke neraka. Allah menyaksikan segala perbuatan dan tingkah laku setiap pemeluk agama tersebut, baik yang tampak maupun yang tersembunyi. Ayat al-Qur’an lain yang berbicara seputar keselamatan dapat ditemui dalam ayat berikut:
Artinya: Dan Sesungguhnya diantara Ahlul Kitab ada orang yang beriman kepada Allah dan kepada apa yang diturunkan kepada kamu dan yang diturunkan kepada mereka sedang mereka berendah hati kepada Allah dan mereka tidak menukarkan ayat-ayat Allah dengan harga yang sedikit. mereka memperoleh pahala di sisi Tuhannya. Sesungguhnya Allah amat cepat perhitungan-Nya.(QS. Ali ‘Imran: 199)
Ayat diatas turun berkaitan dengan informasi meninggalnya an-Najasyi yang sampai kepada Rasulullah, lalu Nabi mengajak para sahabatnya untuk menyalatinya. Kemudian para sahabatnya enggan, karena an-Najasyi merupakan seorang non-Muslim. Lalu turunlah ayat al-Qur’an Ali ‘Imran:199 diatas. Muhammad Abduh menilai bahwa Surat Ali ‘Imran: 199 diatas berbicara tentang keselamatan Ahlul Kitab yang dakwah Nabi sampaikepada mereka dan kebenaran Islam tampak bagi mereka.
Dari penjelasan ayat al-Qur’an beserta tafsirnya diatas memberi gambaran bahwa al-Qur’an (Islam) mengakui eksistensi agama-agama disekitarnya. Karena sesuai dengan tugas dan fungsi Nabi, bahwa kedatangan Nabi Muhammad adalah untuk mendukung, mengukuhkan, meluruskan kembali, dan menyempurnakan ajaran-ajaran para nabi terdahulu. Menurut Thabataba’i, yang dianulir al-Qur’an bukan ajaran pokoknya, karena sesuai QS. Al-Baqarah: 62, setiap orang yang memegang teguh keimanannya dan melakukan amal shalih akan mendapat ganjaran dari Tuhan.
Hal tersebut perlu dibaca secara jernih agar tidak menimbulkan kesalahpahaman, bahwa hadirnya agama-agama dalam rumpun samawi tersebut sesungguhnya berjalan dalam unsur saling menyempurnakan, karena memang berjangkar pada kesamaan misinya. Menurut Nurcholish Majid, maksud Islam adalah sikap pasrah kepada Tuhan, dan bukan sebagai institusi. Keagamaan tanpa sikap kepasrahan kepada Tuhan tidaklah sejati, sebab inti agama yang benar adalah kepasrahan kepada Tuhan yang Maha Esa. Atas dasar itulah semua agama sejak sebelum Nabi Muhammad juga disebut “al-Islam”.
Kepasrahan tersebut mempunyai kedudukan yang sama di hadapan Tuhan, asal mereka beriman kepada Allah, beriman kepada hari akhir, dan berbuat keshalehan. Jika persyaratan-persyaratan tersebut terpenuhi, mereka akan mendapat ganjaran berupa jaminan keselamatan di akhirat sebagaimana pernyataan Allah dalam QS. Al-Baqarah: 62 diatas.Bahkan dalam QS. An-Nisa’:123-124 ditegaskan bahwa syarat mutlak masuk surga bergantung pada amal baik dan iman yang benar. Berikut bunyi ayat tersebut:
Artinya: Pahala dari Allah) itu bukanlah menurut angan-anganmu yang kosong dan tidak (pula) menurut angan-angan Ahlul Kitab. Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan, niscaya akan diberi pembalasan dengan kejahatan itu dan ia tidak mendapat pelindung dan tidak (pula) penolong baginya selain dari Allah. Barangsiapa yang mengerjakan amal-amal saleh, baik laki-laki maupun wanita sedang ia orang yang beriman, Maka mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya walau sedikitpun. (QS. An-Nisa’: 123-124)
Ayat diatas turun berkaitan dengan orang Islam, Yahudi, dan Nasrani yang saling merasa lebih baik dari yang lain.Orang Islam merasa lebih baik dari Yahudi dan Nasrani, sebaliknya pula Yahudi dan Nasrani merasa dirinyalah yang terbaik. Kemudian turunlah ayat tersebut. Sehingga ayat tersebut merupakan teguran kepada siapapun yang merasa dirinya lebih baik hanya berdasarkan agamanya. Padahal, dalam ayat tersebut telah dijanjikan bagi siapapun yang mengerjakan amal-amal shalih akan masuk surga, dan tidak akan mendapat siksaan.
Jadi, seorang non-Muslim yang memiliki keshalehan yang sempurna, dermawan, atau berprestasi dan memberikan sumbangan positif bagi umat manusia ia tidak otomatis masuk neraka, hanya karena tidak beragama Islam. Akan tetapi justru sumbangan positifnyalah yang dapat membawa ke surga. Hal ini didukung oleh sebuah hadis, bahwa Rasulullah bersabda,”Saya melihat seorang pendeta berada didalam surga, ia memakai baju sutera karena ia beriman”. Dari pemaparan dan penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa al-Qur’an menyebutkan bahwa agama-agama di luar Islam berhak mendapatkan keselamatan di akhirat asalkan memenuhi 3 syarat: Keimanan kepada Allah, Hari akhir, dan beramal shalih.
Dengan demikian, secara historis menunjukkan kenyataan bahwa kehadiran agama pada hakikatnya sama-sama mempunyai misi suci untuk membebaskan manusia dari belenggu sifat-sifat moral rendahan dan membawa pada ketinggian moral. Bukan hanya sebatas terjebak padaritual fomal, yang akhirnya melupakan sisi-sisi keshalehan luhur antar individu. Intinya, bagaimana perilaku-perilaku keagamaan dapat mempengaruhi pola tingkah dan perilaku manusia sehari-hari.
D. Kesimpulan
Dapat dikatakan bahwa dalam ayat-ayat al-Qur’an yang telah dipaparkan diatas menggambarkan adanya kesinambungan risalah Tuhan melalui nabi-nabi dan kitab-kitabnya. Islam yang datang kemudian bukan agama ‘murni’, akan tetapi tetap mengakomodir ajaran agama terdahulu yang sesuai dengan pesan-pesan Tuhan, sehingga menjadi pelengkap ajaran yang belum tercover pendahulunya, atau bisa juga meluruskan ajaran-ajaran sebelumnya. Ketiga agama semitik (Yahudi, Nasrani, dan Islam) tersebut masih dalam satu induk yang bermuara pada Nabi Ibrahim as, sehingga secara prinsipil ketiga agama Ibrahim tersebut dapat menjalin sebuah ikatan emosional yang kokoh.
Wahyu yang diterima oleh Muhammad merupakan kontinuitas dari wahyu-wahyu yang diturunkan kepada nabi-nabi sebelumnya. Termasuk isi atau inti wahyu yang terkandung dalam al-Qur’an secara umum merupakan pembenar (mushaddiq) bagi kitab-kitab suci terdahulu seperti Taurat dan Injil. Oleh karena itu, kontinuitas agama-agama dari Adam hingga Nabi Muhammad disebut dengan Islam. Islam disini bukan sebagai sebuah institusi, akan tetapi berarti kepasrahan total kepada Tuhan. Bentuk penghambaan makhluk secara maksimal kepada Tuhannya.Al-Qur’an menyebutkan bahwa agama-agama di luar Islam berhak mendapatkan keselamatan di akhirat asalkan memenuhi 3 syarat: Keimanan kepada Allah, Hari akhir, dan beramal shalih.

Sumber Referensi:
Affandy, Sa’dullah. Menyoal Status Agama-Agama Pra-Islam. Jakarta: Mizan Pustaka. 2015.
Amrullah, Haji Abdul Malik Karim. Tafsir al-Azhar. Juz I. Jakarta: Pustaka Panjimas. 1982.
Dirks, Jerald F. Abrahamic Faiths: Titik Temu dan Titik Seteru antara Islam, Kristen, dan Yahudi. Jakarta: Serambi. 2002.
Hidayat, Komaruddin. Wahyu di Langit Wahyu di Bumi: Doktrin dan Peradaban Islam di Panggung Sejarah. Jakarta: Paramadina. 2003.
Ilyas, Hamim. Dan Ahlul Kitab pun Masuk Surga: Pandangan Muslim Modernis terhadap Keselamatan Non-Muslim. Yogyakarta:Safiria Insania Press.2005.
Ibn Katsir, Abu al-Fida Ismail. Tafsir al-Qur’an al-Azim. Juz I.Beirut: Dar al-Fikr. 2005.
Khalil, Mohammad Hassan. Islam dan Keselamatan Pemeluk Agama Lain, terj. Chandra Utama. Jakarta: Mizan Pustaka, 2016.
Majid, Nurcholish. Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, kemanusiaan, dan Kemoderenan. Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 1992.
Ridha, M. Rasyid. Tafsir al-Manar. Juz VI. Beirut: Dar al-Fikr.1973.
Siradj, Said Aqil.Tasawuf sebagai Kritik Sosial, Mengedepakan Islam sebagai Inspirasi, Bukan Aspirasi. Bandung: Mizan, Cet. VI.2002.
Shihab, Quraish. Lentera al-Qur’an: Kisah dan Hikmah Kehidupan. Bandung: Mizan Pustaka. 2013.
Thabataba’I,Muhammad Husein.al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an, Vol. I. Beirut: Mu’assasah al-A’lami li al-Mathbu’at. 2006.
al-Wahidi, Abi al-Hasan Ali bin Ahmad at-Tayyar. Asbab an-Nuzul. Kairo: Dar al-Hadith, 2003.
Az-Zamakhsyari, al-Kasysyaf ‘an Haqa’iq an-Tanzil wa ‘Uyun al-Aqawil fi Wujuh at-Ta’wil. Tamaran: Intisyarat Aftab, t.t, Juz I.
Zuhaili, Wahbah. Tafsir al-Munir fi al-‘Aqidah wa asy-Syari’ah wa al-Manhaj. Cet. III, Vol I. Damaskus: Dar al-Fikr. 2003.