Syarat dan Adab Mufassir

Standard

BAB II

PEMBAHASAN

 

  1. A.    Syarat-Syarat Mufasir

Sebagaimana yang kita maklum, bahwa Al Qur’an adalah kitab pedoman hidup Al Qur’an (the way of life). Keterbatasan bahasa Al Qur’an yang mengandung banyak penafsiran harus diuraikan dengan benar secara metodologis, agar dapat dipahami dan dijadikan pedoman bagi umat Islam. Membaca dan memahami Al Qur’an memang adalah hak, bahkan kewajiban setiap umat muslim, namun menafsirkan kandungan ayat Al Qur’an, tidak semua orang diperbolehkan melakukanya. Terdapat beberapa persyaratan yang harus dipenuhi oleh eorang mufasir. Hal ini dilakukan agar tidak terjadi salah penafsiran (mal Praktek) akibat tidak adanya ilmu yang mumpuni yang dikuasai mufasir.

  1. Syarat-syarat dari aspek kepribadian

Mufasir adalah kunci pemahaman umat muslim terhadap Al Qur’an. Yang mana kandungan ayat Al Qur’an mencakup berbagai aspek kehidupan umat Islam, baik akidah, akhlak, syariah, ibadah dan sebagainya. Menjadi seorang mufasir sama halnya mengemban amanat yang berat dari seluruh umat muslim. oleh karena itu, seorang mufasir harus memiliki kepribadian yang mulia dan nilai-nilai ruhiyah yang luhur dalam menyingkap hakikat-hakkat makna ayat-ayat Al Qur’an. Diantaranya adalah sebagai berikut:

  1. Akidah yang benar.

Akidah sangat berpengaruh terhadap jiwa pemiliknya, dan sering kali mendorongnya untuk mengubah nash-nash dan berkhianat dalam penyampaian berita. Apabila seseorang menyusun sebuah kitab tafsir, maka dita’wilkanya kepada madzabnya yang batil guna memalingkan manusia dari mengikuti golongan salaf dan dari jalan petunjuk.

  1. Tidak mengikuti hawa nafsu

Hawa nafsu membawa pemiliknya kepada paham subjektifnya sekalipun salah dan menolok yang lain, meskipun yang ditolak itu benar.

  1. Berniat baik dan bertujuan benar

Seorang mufasir menafsirkan al Qur’an didasarkan atas iklas dan mengharap ridho Allah, tidak mengharap kemulyaan dan kehormatan atau kewibawaan.

  1. Berahlak mulia

Mufasir bagai seorang pendidik yang didikannya itu tidak akan berpengaruh ke dalam jiwa tanpa ia menjadi panutan yang diikuti dalam hal akhlak dan perbuatan mulia.

  1. Tawadhu dan lemah lembut

Kesombongan ilmiah merupakan dinding kokoh yang menghalangi antara seorang alim dengan kemanfaatan ilmunya.[1]

  1. Aspek Intelektual

Syarat yang berkaitan dengan aspek intelektual yang harus dikuasai oleh seorang mufassir ini dibagi menjadi dua, yaitu: syarat pengetahuan murni dan syarat manhajiyah (berkaitan dengan metode). Imam Jalaluddin As-Suyuthy dalam Al-Itqân fî ‘Ulûm al-Qurân menyebutkan lima belas ilmu yang harus dikuasai oleh seorang mufassir. Lima belas ilmu tersebut adalah sebagai berikut:

  1. Bahasa Arab karena dengannya seorang mufassir mengetahui penjelasan kosakata suatu lafal dan maksudnya sesuai dengan objek.

Oleh karena demikian urgennya penguasaan terhadap bahasa Arab dalam menafsirkan Al-Quran, Mujahid bahkan mengatakan,

لا يحل لأحد يؤمن بالله واليوم الآخر أن يتكلم في كتاب الله إذا لم يكن عالمًا بلغات العرب‏.

“Tidak halal bagi seorang yang beriman kepada Allah dan hari akhir berbicara mengenai sesuatu yang terdapat dalam Kitâbullâh apabila ia tidak mengetahui bahasa Arab.”

  1. Nahwu karena suatu makna bisa saja berubah-ubah dan berlainan sesuai dengan perbedaan i’rab.
  2. Tashrîf (sharaf) karena dengannya dapat diketahui binâ’ (struktur) dan shîghah (tense) suatu kata.
  3. Isytiqâq (derivasi) karena suatu nama apabila isytiqâqnya berasal dari dua subjek yang berbeda, maka artinya pun juga pasti berbeda. Misalnya (المسيح), apakah berasal dari (السياحة) atau (المسح‏).
  4. Al-Ma‘âni karena dengannya dapat diketahui kekhususan tarkîb (komposisi) suatu kalimat dari segi manfaat suatu makna.
  5. Al-Bayân karena dengannya dapat diketahui kekhususan tarkîb (komposisi) suatu kalimat dari segi perbedaannya sesuai dengan jelas tidaknya suatu makna.
  6. Al-Badî‘ karena dengannya dapat diketahui kekhususan tarkîb (komposisi) suatu kalimat dari segi keindahan suatu kalimat.

Ketiga ilmu di atas disebut ilmu balaghah yang merupakan ilmu yang harus dikuasai dan diperhatikan oleh seorang mufassir agar memiliki sense terhadap keindahan bahasa (i‘jâz) Al-Quran.

  1. Ilmu qirâ’ah karena dengannya dapat diketahui cara mengucapkan Al-Quran dan kuat tidaknya model bacaan yang disampaikan antara satu qâri’ dengan qâri’ lainnya.
  2. Ushûluddîn (prinsip-prinsip dien) yang terdapat di dalam Al-Quran berupa ayat yang secara tekstual menunjukkan sesuatu yang tidak boleh ada pada Allah ta‘ala. Seorang ahli ushul bertugas untuk menakwilkan hal itu dan mengemukakan dalil terhadap sesuatu yang boleh, wajib, dan tidak boleh.
  3. Ushul fikih karena dengannya dapat diketahui wajh al-istidlâl (segi penunjukan dalil) terhadap hukum dan istinbâth.
  4. Asbâbun Nuzûl (sebab-sebab turunnya ayat) karena dengannya dapat diketahui maksud ayat sesuai dengan peristiwa diturunkannya.
  5. An-Nâsikh wa al-Mansûkh agar diketahui mana ayat yang muhkam (ditetapkan hukumnya) dari ayat selainnya.
  6. Fikih.
  7. Hadits-hadits penjelas untuk menafsirkan yang mujmal (global) dan mubham (tidak diketahui).
  8. Ilmu muhibah (bakat), yaitu ilmu yang Allah ta‘ala anugerahkan kepada orang yang mengamalkan ilmunya.[2]

Adapun bagi seorang mufassir kontemporer, menurut Ahmad Bazawy Adh-Dhawy[3], maka ia harus menguasai tiga syarat pengetahuan tambahan selain lima belas ilmu di atas. Tiga syarat pengetahuan tersebut adalah:

  1. Mengetahui secara sempurna ilmu-ilmu kontemporer hingga mampu memberikan penafsiran terhadap Al-Quran yang turut membangun peradaban yang benar agar terwujud universalitas Islam.
  2. Mengetahui pemikiran filsafat, sosial, ekonomi, dan politik yang sedang mendominasi dunia agar mufassir mampu mengcounter setiap syubhat yang ditujukan kepada Islam serta memunculkan hakikat dan sikap Al-Quran Al-Karim terhadap setiap problematika kontemporer. Dengan demikian, ia telah berpartisipasi dalam menyadarkan umat terhadap hakikat Islam beserta keistimewaan pemikiran dan peradabannya.
  3. Memiliki kesadaran terhadap problematika kontemporer. Pengetahuan ini sangat urgen untuk memperlihatkan bagaimana sikap dan solusi Islam terhadap problem tersebut.

 

 

  1. B.     Adab Mufasir

Yang dimaksud adab mufasir di sini adalah adab mufsir dalam menafsirkan Al Qur’an. Para ulama berkata, “Barangsiapa hendak menafsirkan kitab yang mulia maka pertama kali dia mencarinya dari al-Qur’an. Sesungguhnya yang dijelaskan secara global pada suatu tempat maka akan ditafsirkan pada tempat yang lain. Apa yang diringkas pada suatu tempat akan dijelaskan secara luas pada tempat yang lain (mujmal)”. Jika suatu penjelasan tidak ditemukan pada ayat yang lain di dalam al-Qur’an, maka dapat dicari dalam sunnah. Sesungguhnya sunnah merupakan syarah terhadap al-Qur’an. Jika tidak ditemukan dalam sunnah, maka dapat merujuk kepada perkataan para sahabat. Sesungguhnya mereka lebih memahami terhadap situasi dan kondisi yang melingkupi turunnya al-Qur’an.

Menurut az-Zarkasyi dalam kitab al-Burhan sebagaimana yang dikutip oleh as-Suyuti dalam al-Itqan fi Ulumil Qur’an, bagi seseorang yang hendak menafsirkan al-Qur’an harus memiliki banyak referensi. Pada dasarnya terdapat empat referensi paling utama dalam menafsirkan al-Qur’an, yaitu: pertama, riwayat dari Rasulullah. Berkenaan dengan hal ini perlu diperhatikan juga kualitas riwayat tersebut.

Kedua, perkataan seorang sahabat. Perkataan sahabat memiliki kedudukan tafsir yang sama dengan marfu’ kepada Rasulullah SAW. Sebagaimana yang dikatakan al-Hakim dalam kitab al-Mustadraknya. Merujuk pada riwayat sahabat ini khusus pada penjelasan tentang sabab an-nuzul dan semisalnya. Sementara, merujuk pada pendapat tabi’in masih diperdebatkan para ulama.

            Ketiga, mengambil kemutlakan bahasa. Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab yang jelas. Maka dari itu, dalam menafsirkan al-Qur’a, harus berpedoman pada kaidah-kaidah bahasa Arab.

Keempat, tafsir dengan petunjuk makna pembicaraan dan pemahaman yang baik dari sisi kekuatan syari’at.

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

al-Qaṭṭān, Mannā` Khalīl. Studi Ilmu-ilmu al-Qur`an. Cet. 14. Bogor: Pustaka Litera AntarNusa. 2011.

ar-Rumi, Fahd bin Abdirrahman. Ulumul Qur`an. Yogyakarta: Titian Ilahi. 1996.

Suyuthi, Imam. al-Itqan fi Ulumil Qur’an. Solo: Indiva Media Kreasi. 2009.

As-Shiddieqy, T.M. Hasbi. Sejarah dan Pengantar Ilmu a-Qur’an dan Tafsir. Semarang: Pustaka Rizki Putra. 2009.

Baidan, Nashruddin. Metode Penafsiran a-Qur’an. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2002.

About greatquranhadis

Assalamu'alaikum Wr. Wb...... Perkenalkan, Nama saya adalah Taufan Anggoro. Saya selaku admin blog wordpress greatquranhadis.wordpress.com ini. Blog ini dibuat untuk memperkaya khazanah keislaman, khususnya dalam bidang kajian quran-hadits. thread2 dan tulisan2 yang di paparkan dalam blog wordpress ini didapat dari materi2 yang dihimpun oleh admin greatquranhadis.wordpress.com dari diskusi-diskusi yang ada di kelas kuliah... saran dan kritik yang membangun dari kawan-kawan saya harapkan, demi perkembangan blog kajian quran-hadits ini kedepan. Oo ya, berhubung baru newbie, tulisan-tulisan yang ada saat ini masih belum baik, akan terus diedit dan diubah seiring bertambahnya ilmu per-blog wordpress an, heheheee. Sekiaaaan!!!! Wassalamu'alaikum Wr. Wb

Leave a comment